Akad
MAKALAH FIQIH
TENTANG AKAD, SYARAT, MACAM DAN CARA PEMBATALANNYA.
D
I
S
U
S
U
N
OLEH:
NAMA : Ade Sri Wulan Pane
NIM : 1530100006
SEM/JUR : KPI/ V(LIMA)
Dosen
pengampuh:
Zilfaroni,
S.Sos.I.,M.A
FAKULTAS
DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI
INSTITUT
AGAMA ISLAM NEGERI
PADANGSIDIMPUAN
T.A.
2017/2018
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum Warahmatullah
Wabarakatu...
Puji syukur saya panjatkan
kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayahnya sehingga saya
dapat menyelesaikan tugas makalah ini dengan judul “Akad, syaratnya,
macamnya dan cara pembatalannya”,serta tak lupa pula saya haturkan shalawat
serta salam kepada junjungan Nabi kita Muhammad SAW yang telah membawa kita
dari zaman jahilia, dari zaman kebodohan menuju zaman yang sekarang ini yakni
zaman yang penuh dengan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Makalah ini di persiapkan dan di
susun untuk memenuhi tugas kuliah serta menambah wawasan dan ilmu pengetahuan,
di dalam makalah ini saya menyadari bahwa penulisanya masih sangat sederhana
dan jauh dari kesempurnaan. Namun, besar harapan saya semoga makalah yang
disusun ini bisa bermanfaat. Saya selaku penulis makalah ini dapat
terselesaikan atas usaha keras saya dan bantuan rekan-rekan dalam diskusi untuk
mengisi kekuranganya.
Dalam pembuatan makalah ini saya
sangat menyadari bahwa baik dalam penyampaian maupun penulisan masih banyak
kekurangannya untuk itu saran dan kritik dari berbagai pihak sangat saya
harapkan untuk penunjang dalam pembuatan makalah saya berikutnya.
Wassalamualaikum
Warahmatullah Wabarakatuh...
Padangsidimpuan, 31
Agustus 2017
Penulis
DAFTAR ISI
KATA
PENGANTAR............................................................................................. .............
i
DAFTAR
ISI............................................................................................................ .............
ii
BAB
I
PENDAHULUAN.....................................................................................................
1
A. Latar
Belakang........................................................................................................
1
B. Rumusan
Masalah...................................................................................................
2
C.
Tujuan......................................................................................................................
2
BAB
II
PEMBAHASAN.......................................................................................................
3
A. Pengertian
Akad.......................................................................................................
3
B. Rukun-rukun
Akad..................................................................................................
5
C. Macam-macam
Akad...............................................................................................
6
D. Syarat-syarat
Akad.................................................................................................
15
E. Cara Pembatalan
Akad..........................................................................................
16
BAB
III PENUTUP................................................................................................. ...........
17
A. Kesimpulan................................................................................................. ...........
17
B. Saran .......................................................................................................... ...........
17
DAFTAR
PUSTAKA.............................................................................................. ...........
18
BAB 1
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Sebagai makhluk sosial, manusia
tidak bisa hidup sendiri dan memerlukan bantuan dari orang lain dalam memenuhi
kehidupan hidupnya. Kebutuhan manusia sangat beragam dan sangat memerlukan
bantuan hidup dari orang lain agar kehidupanya bisa terpenuhi lebih mudah
dengan cara berhubungan yang baik dan teratur agar tidak ada yang merugikan
orang lain. Muamalah adalah aspek hukum Islam yang ruang lingkupnya luas. Pada
dasarnya aspek hukum Islam yang bukan ibadah seperti sholat, puasa, zakat, haji,
digolongkan muamalah. Karena itu masalah pidana dan perdata digolongkan hukum
muamalah. Dalam pembahasan Fiqih Muamalah, akad dapat digunakan bertransaksi
sangat beragam, sesuai dengan karakteristik dan spesipikasi kebutuhan yang ada.
Akad merupakan suatu ikatan dan
kesepakatan antara dua orang atau lebih untuk melakukan suatu perjanjian, dan
tidak semua perjajian dikatakan sebagai akad karena akad memiliki suatu syarat
tertentu untuk menjadikan dasaran akad yaitu dengan adanya ucapan “ijab qobul”
sesuai dengan ketentuan syariat islam. Ijab qobul itu sendiri merupakan suatu
ungkapan atau kesepakatan dua orang
ataupun lebih untuk melakukan kontrak. Suatu akad akan terpenuhi jika rukun itu
sendiri terpenuhi dengan adanya akid (orang yang berakad) dan Ma’qud Alaih
(suatu yang diakadkan).
Di Indonesia akad sering dilakukan
oleh masyarakat bahkan mayoritas masyarakat menggunakan dalam hal jual beli
maupun hal lain. Kata akad sering juga didengar oleh masyarakat dan bahkan
sudah sering dilakukan dalam kehidupan sehari-hari tanpa kita sadari. Bahkan
sebagian masyarakat sering melakukan akad tanpa dia mengerti apa itu akad
sesuai dengan syariat Islam maupun tidak, sehingga muncul berbagai masalah
ataupun konflik antar dua pihak. Maka dalam hal itu, saya menguraikan mengenal
berbagai hal yang terkait dengan akad dalam pelaksanaan muamalah didalam
kehidupan sehari-hari. Karena akad adalah akar atau pokok utama dalam semua
transaksi dalam kehidupan bermasyrakat.
B.
RUMUSAN MASALAH
1. Apa pengertian akad?
2. Apa saja syarat-syarat akad?
3. Apa saja rukun-rukun akad?
4. Apa saja macam-macam akad?
4. Bagaimana cara membatalkan
akad?
C.
TUJUAN
Sesuai dengan rumusan masalah diatas, penulisan ini bertujuan
untuk menginformasikan dan menjelaskan tentang akad yang sesuai dengat syariat
islam dalam prespektif fiqih muamala. Secara khusus makalah ini disusun untuk
memenuhi tugas mata kuliah fiqih muamalah serta menginformasikan wawasan dan
pengetahuan ke teman-teman jurusan kpi semester lima.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Akad
Sebelum kita mengetahui tentang
pengertian akad, kita harus tahu dulu asal usul akad, dan saya jelaskan dibawah
ini:
Syariat
islam mengajarkan pada manusia agar menjalankan aktivitasnya berdasarkan aturan
yang telah di tentukan oleh Allah SWT. Dan Rasul-Nya. Begitupun dalam
men-tasarruf-kan (menjalankan) kegiatan muamalah. Sebagaimana diketahui, bahwa
akad merupakan bagian dari macam-macam tasharuf. Adapun yang dimaksud tasharruf
aialah:
“Segala yang keluar
dari seseorang manusia dengan kehendaknya dan syara’ menetapkan beberapa
haknya.”
Tasharruf
terbagi du, yaitu tasharruf fi’il dan tasharruf qauli. Tasharruf fi’il ialah
usaha yang dilakukan menusia dengan tenaga dan badannya,selain lidah. Misalnya
memanfaatkan tanah yang tandus. Sedangkan, tasharruf qauli ialah tasharruf yang
keluar dari lidah manusia. Tasarruf qauli terbagi dua, yaitu ‘aqdi dan bukan ‘aqdi. Tasharruf auli ‘aqdi ialah:
”Sesuatu yang dibentuk
dari dua belah pihak yang bertalian.”
Contoh
tasharruf qauli ‘aqdi, adalah jual beli, sewa-menyewa, dan perkongsian.
Tasharruf qauli bukan ‘aqdi ada dua macam, yaitu sebagai berikut
a.
Merupakan
pernyataan pengadaan sesuatu hak atau mencabut suatu hak, seperti wakaf, talak,
dan memerdekakan.
b.
Tidak menyatakan
suatu kehendak, tetapi dia muwujudkan tuntunan-tuntunan hak. Misalnya
gugatan,iqrar, dan sumpah untuk menolak gugatan.
Akad dalam bahasa Arab yang berarti
ikatan, keputusan maupun penguatan (atau pengencangan dan penguatan) antara
beberapa pihak dalam hal tertentu, aik itu bersifat konkret maupun abstrak,
baik itu satu sisi maupun dalam dua sisi. Akad menurut wahda Al- suhaily akad
adalah ikatan antara dua perkara yakni ikataan secara nyata maupun secara
maknawi dari satu segi maupun dua segi dengan kata lain. Dalam kitab Misbah
al-Munir dan kitab-kita bahasa lainnya diseutkan ‘aqada al-habl (mengikat tali)
atau ‘aqada al-bay’(mengikat jual beli) atau aqaida al-’ahd (mengiingkat
perjanjian).[1]
Menurut fuqaha akad memiliki dua
pengertian: umum dan khusus.
1. Akad secara umum atau disebut secara
bahasa dan terbesar dari fuqaha Malikiyah, Syafi’iyah dan hanabilah yaitu
“seiap sesuatu yang ditekadkan oleh seseorang untuk melakukannya baik muncul
dalam kehendak sendiri seperti wakaf, ibra (pengguguran hak), talak dan sumpah,
maupun yang membutuhkan dua kehendak dalam menciptakannya seperti jual beli,
sewa-menyewa maupun diwakili dan rahn (jaminan).
2. Akad secara khusus akad adalah perikatan yang
diikatkan dengan perkataan ijab dan qobul berdasarkan syariat islam. Contohnya:
Orang pertama “Saya telah menjual barang
ini kepadamu”(ijab). Orang Kedua “Saya membeli barang ini kepadamu”
(qobul). Qabul terikat dengan Ijab maka
itu sesuai dengan syaraiat Islam. Dan barang tersebut dari orang pertama disah
menjadi milik orang kedua, orang pertama tidak memiliki hak lagi tentang barang
itu.
Akad
juga memiliki arti yaitu secara etimologi (bahasa), ‘aqad mempunyai beberapa
arti, antara lain:
a.
Mengikat
(ar-rabthu), yaitu:
“Mengumpulkan dua ujung
tali dan mengikat salah satunya dengan yang lain sehingga bersambung kemudian
keduanya menjadi sebagai sepotong benda.”
b.
Sambungan
(aqdatun), yaitu:
“Sambungan yang
memegang kedua ujung itu dan mengikatnya.”
c.
Janji (Al-‘Ahdu)
sebagaimana dijelaskan dalam Al-qur’an:
“Hai orang-orang yang
beriman tepatilah janji-janjimu.”
Istilah ‘ahdu dalam Al-Qur’an mengacu kepada
pernyataan seseorang mengerjakan sesuatu dan tidak yang ada sangkut-pautnya
dengan orang lain. Perjanjian yang dibuat seseorang tidak memerlukan
persetujuan persetujuan pihak lain, baik setuju maupun tidak setuju, tidak
berpengaruh kepada janji yang dibuat oleh orang tersebut.
Perkataan ‘aqdhu mengacu terjadinya dua perjanjian
atau lebih, yaitu bila seseorang mengadakan janji kemudian ada orang lain yang
menyetujui janji tersebut, serta menyatakan pula suatu janji yang berhubungan
dengan janji yang pertama. Terjadinya perikatan dua buah janji (‘ahdu) dari dua
orang yang mempunyai hubungan antara yang satu dengan yang lain disebut
perikatan (‘aqad).[2]
Dari
uraian di atas dapat dicermati, bahwa setiap ‘aqdi (persetujuan) mencakupi tiga
tahap, yaitu:
a.
Perjanjian
(‘ahdu);
b.
Persetujuan duah
buah perjanjian ata lebih; dan
c.
Perikatan
(‘aqdu)
Menurut
istilah (terminologi), yangdimaksud dengan akad ialah:
“Aqad
yaitu tasarruf antara dua pihak dan timbulnya ikatan-ikatan atau
kewajiban-kewajiban yang dipelihara oleh keduanya.”
32.
wanita itu berkata: "Itulah Dia orang yang kamu cela aku karena (tertarik)
kepadanya, dan Sesungguhnya aku telah menggoda Dia untuk menundukkan dirinya
(kepadaku) akan tetapi Dia menolak. dan Sesungguhnya jika Dia tidak mentaati
apa yang aku perintahkan kepadanya, niscaya Dia akan dipenjarakan dan Dia akan
Termasuk golongan orang-orang yang hina."
Dalam
definisi yang lain dikemukakan:
“Perikatan
ijab kabul yang dibenarkan syara’ yang menetapkan keridhaan seseorang yang
berpengaruh pada kedua pihak.”
B. Rukun Akad.
Rukun akad secara terminologis
menurut hanafiyah adalah sesuatu yang adanya sesuatu yang lain bergantung
kepadaanya dan ia merupakan bagian dari hakikat sesuatu tersebut. Dalam muamalah
ijab dan qobul atau menggantikan posisi keduanya adalah rukun akad. Jadi rukun
akad adalah segala sesuatu yang mengungkapkan kesepakatan dua kehendak atau
yang menggantikan posisinya baik berupa perbuatan, isyarat maupun tulisan. Ada
3 rukunnya yaitu: aqid (pengakad), ma’qud alaih (objek yang diakadkan), dan
shignat (diakadkan). [3]
Para ulama lainnya juga menyebutkan bahwa akad terbagi atas
3 yaitu:
a.
Kesepakatanuntuk
mengikatkan diri ( shighat al-‘aqd)
b. Pihak-pihak
yang berakad (al-muta’aqidain/al-‘aqidain
c. Objek akad
(al-ma’qud alaih/mahal al-‘aqd)
d. Tujuan akad.
Adapun
rukun akad sebagai berikut:
1.
‘aqad ialah
orang yang berakad, terkadang masing-masing pihak terdiri atas satu orang,
terkadang terdiri atas beberapa orang misalnya penjual dan pembeli beras di
pasar biasanya mesing-masing pihak satu orang.
2.
Ma’qud alaih
benda-benda yang diakadkan, seperti benda-benda yang dijualkan dala akad jual
beli.
3.
Maudhu ‘al’aqad
ialah tujuan atau maksud pokok mengadakan akad. Berbeda akad maka berbedalah
tujuan akad.
4.
Shighat al’aqad
ialah ijab dan kabul, ijab ialah pemulaan penjelasan yang keluar dari sala
seorang yang berakad sebagai gambaran kehendaknya dalam mengadakanakad,
sedangkan kabul ialah perkataan yang keluar dari pihak berakad pula, yang
diucapkan setelah adanya ijab. Pengaertian ijab kabul dalam pengalaman dewasa
ini ialah bertukaranyasesuatu terkadang tidak berhadapan, misalnya seseorang yang berlangganan majalah
Panjimas, pembeli mengirimkan uang melalui pos wesel dan pembeli menerima majalah tersebut dari petugas pos.
Hal-hal
yang harus diperhatikan dalam shighat al-‘aqad ialah sebagai berikut:
a.
shighat al-‘aqad
harus jelas pengertiannya. Kata-kata dalam ijab kabul harus jelas dan tidak
memiliki banyak pengertian.
b.
Harus
bersesuaian antara ijab dan kabul. Tidak boleh antara yang berijab dan yang
menerima berbeda lafaz.
c.
Menggambarkan
kesungguhan kemauan dari pihak-pihak yang bersangkutan, tidak terpaksa dan
tidak karena diancam atau ditakut-takuti
oleh orang lain karena dalam tijarah harus saling ridha.
d.
Mengucapkan
dengan lidah merupakan salah satu cara yang ditempuh dalam mengadakan akad,
tetapi ada juga cara lain yang dapat menggambarkan kehendak untuk berakadl.
Para ulama menerangkan beberapa cara yang ditempuh dalam akad, sebagai berikut:
1. Dengan
cara tulisan (kitabah), misalnya dua akad berjauhan tempatnya, maka ijab kabul
boleh dengan cara kitabah, atas dasar inilah fukaha membentuk kaidah.
2. Isyarat,
bagi orang tertentu akad atau ijab dan kabul tidak dapat dilaksanakan dengan
ucapan dan tulisan, misalnya seseorang yang bisu tidak dapat mengadakan ijab
kabul dengan bahasa.
e.
Tu’athi (saling memberi), seperti seseorang yang melakukan pemberian kepada
seseorang dan orang tersebut memberikan imbalan kepada yang memberi tanpa
ditentukan besar imbalan.
f.
Lisan al-hal, menurut sebagian ulama, apabila seseorang meninggalkan
barang-barang dihadapan orang lain, kemudian dia pergi dan orang yang
ditinggali barang itu berdiam diri saja, hal itu dipandang telah ada akad ida’
(titipan) antara orang yang meletakan
barang dengan yang menghadapi letakan barang titipan dengan jalan
dalalat al-hal.[4]
C.
Macam Akad.
Yang dimaksud dengan
unsur-unsur akad adalah penompang-penompang yang dengannya muncullah akad dan
akad tidak akan ada kecuali jika ia ada.
Unsur-unsur akad itu ada empat yaitu:
1.
Shighat Akad adalah sesuatu yang muncul dari kdua oran berakad dan menunjukan
adanya keinginan batin dari keduanya untuk membuat
akaddan menyempurnakannya. Dengan lafaz atau perkataan atau yang
menggantikan posisinya terdapat dalam
surah an-Nisa 29, materi yang disampaikan harus nyata dan langsung tatap muka
menurut hanafiyah dan malikiyah.
$ygr'¯»t
ÓÉ<¨Z9$#
!$¯RÎ)
$oYù=n=ômr&
y7s9
y7y_ºurør&
ûÓÉL»©9$#
|Møs?#uä
Æèduqã_é&
$tBur
ôMs3n=tB
y7ãYÏJt
!$£JÏB
uä!$sùr&
ª!$#
øn=tã
ÏN$oYt/ur
y7ÏiHxå
ÏN$oYt/ur
y7ÏG»£Jtã
ÏN$oYt/ur
y7Ï9%s{
ÏN$oYt/ur
y7ÏG»n=»yz
ÓÉL»©9$#
tböy_$yd
yètB
Zor&zöD$#ur
ºpoYÏB÷sB
bÎ)
ôMt7ydur
$pk|¦øÿtR
ÄcÓÉ<¨Z=Ï9
÷bÎ)
y#ur&
ÓÉ<¨Z9$#
br&
$uhysÅ3ZtFó¡o
Zp|ÁÏ9%s{
y7©9
`ÏB
Èbrß
tûüÏZÏB÷sßJø9$#
3
ôs%
$uZ÷KÎ=tæ
$tB
$oYôÊtsù
öNÎgøn=tæ
þÎû
öNÎgÅ_ºurør&
$tBur
ôMx6n=tB
öNßgãZ»yJ÷r&
xøs3Ï9
tbqä3t
øn=tã
Óltym
3
c%x.ur
ª!$#
#Yqàÿxî
$VJÏm§
ÇÎÉÈ
50. Hai Nabi, Sesungguhnya Kami telah
menghalalkan bagimu isteri- isterimu yang telah kamu berikan mas kawinnya dan
hamba sahaya yang kamu miliki yang Termasuk apa yang kamu peroleh dalam
peperangan yang dikaruniakan Allah untukmu, dan (demikian pula) anak-anak
perempuan dari saudara laki-laki bapakmu, anak-anak perempuan dari saudara
perempuan bapakmu, anak-anak perempuan dari saudara laki-laki ibumu dan
anak-anak perempuan dari saudara perempuan ibumu yang turut hijrah bersama kamu
dan perempuan mukmin yang menyerahkan dirinya kepada Nabi kalau Nabi mau
mengawininya, sebagai pengkhususan bagimu, bukan untuk semua orang mukmin.
Sesungguhnya Kami telah mengetahui apa yang Kami wajibkan kepada mereka tentang
isteri-isteri mereka dan hamba sahaya yang mereka miliki supaya tidak menjadi
kesempitan bagimu. dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (al-ahzaab:50), untuk
pernikahan harus ada aqid, wali, dan susuatu yang diakadkan (an-nisa: 3 dan
al-ahzaab-37).
÷bÎ)ur ÷LäêøÿÅz wr& (#qäÜÅ¡ø)è? Îû 4uK»tGuø9$# (#qßsÅ3R$$sù $tB z>$sÛ Nä3s9 z`ÏiB Ïä!$|¡ÏiY9$# 4Óo_÷WtB y]»n=èOur yì»t/âur ( ÷bÎ*sù óOçFøÿÅz wr& (#qä9Ï÷ès? ¸oyÏnºuqsù ÷rr& $tB ôMs3n=tB öNä3ãY»yJ÷r& 4 y7Ï9ºs #oT÷r& wr& (#qä9qãès? ÇÌÈ
3. dan jika kamu takut tidak akan dapat
Berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu
mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua,
tiga atau empat. kemudian jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil[265], Maka
(kawinilah) seorang saja[266], atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian
itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.
øÎ)ur ãAqà)s? üÏ%©#Ï9 zNyè÷Rr& ª!$# Ïmøn=tã |MôJyè÷Rr&ur Ïmøn=tã ô7Å¡øBr& y7øn=tã y7y_÷ry È,¨?$#ur ©!$# Å"øéBur Îû Å¡øÿtR $tB ª!$# ÏmÏö7ãB Óy´ørBur }¨$¨Z9$# ª!$#ur ,ymr& br& çm9t±ørB ( $£Jn=sù 4Ó|Ós% Ó÷y $pk÷]ÏiB #\sÛur $ygs3»oYô_¨ry ös5Ï9 w tbqä3t n?tã tûüÏZÏB÷sßJø9$# Óltym þÎû Ælºurør& öNÎgͬ!$uÏã÷r& #sÎ) (#öqÒs% £`åk÷]ÏB #\sÛur 4 c%x.ur ãøBr& «!$# ZwqãèøÿtB ÇÌÐÈ
37. dan (ingatlah), ketika kamu berkata kepada
orang yang Allah telah melimpahkan nikmat kepadanya dan kamu (juga) telah
memberi nikmat kepadanya: "Tahanlah terus isterimu dan bertakwalah kepada
Allah", sedang kamu Menyembunyikan di dalam hatimu apa yang Allah akan
menyatakannya, dan kamu takut kepada manusia, sedang Allah-lah yang lebih
berhak untuk kamu takuti. Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap
Istrinya (menceraikannya), Kami kawinkan kamu dengan dia[1219] supaya tidak ada
keberatan bagi orang mukmin untuk (mengawini) isteri-isteri anak-anak angkat
mereka, apabila anak-anak angkat itu telah menyelesaikan keperluannya daripada
isterinya[1220]. dan adalah ketetapan Allah itu pasti terjadi. (al-ahzaab-37).
Setelah dijelaskan syarat-syarat akad, pada bagian
ini akan dijelaskan macam-macam akad.
1.
Aqad munjiz
ialah akad yang dilaksanakan langsung pada waktu selesainya akad. Pernyataan
akad yang diikuti dengan pelaksanaa akas ialah tidak disertai dengan
syarat-syarat dan tidak pula ditentukan waktu pelaksanaan setelah adanya akad.
2.
Aqad mu’alaq
ialah akad yang dalam pelaksanaanya terdapat syarat-syarat yang telah
ditwntukan dalam akad, misalnya penentuan penyerahan barang-barang yang
diakadkan setelah adanya pembayaran.
3.
Aqad mudhaf
ialah akad yang dalam pelaksanaannya terdapat syarat-syarat mengenai
penanggulangan pelaksanaan akad, pernyataan yang pelaksanaannya ditangguhkan
hingga waktu yang ditentukan. Perkataan ini sah dilakukan pada waktu akad,
tetapi belum mempunyai akibat hukum sebelum tibanya waktu yang telah
ditentukan.[5]
Perwujudan
akad tampak ternyata pada keadaan berikut.
1.
Dalam keadanan
muwadha’ah (taljiah), yaitu kesepakatan dua orang secara rahasia untuk
mengumumkan apa yang tidak sebenarnya. Hal ini ada 3 bentuk, sebagai berikut.
a.
Bersepakat
secara rahasia sebelum melakukan akad, bahwa mereka berdua akan mengadakan jual
beli atau yang lainnya secara lahiriah saja untuk menimbulkan sangkaan orang
lain, bah benda tersebut telah dijual, misalnya menjual hata untuk menghindari
pembayaran utang. Hal ini disebut mu’tawadhah pada asal akad.
b.
Muawadlah
terhadap benda yang digunakan untuk akad. Misalnya 2 orang bersepakat menyebut
mahar dalam jumlah yang besar dihadapan Na’ib. Wali pengantin laki-laki dan
wali pengantin wanita sepakat untuk menyebut dalam jumlah yang besar. Sedangkan
mereka sebenarnya telah sepakat pada jumlah yang lebih kecil dari jumlah yang
disebutkan dihadapan na’ib. Hal ini disebut juga muwadha’ah fi al-badal.[6]
c.
Mu’wadlah pada
pelaku ialah seorang yang secara lahiriah membeli sesuatu atas namany sendiri
secara batiniah untuk keperluan orang lain. Misalnya seseorang membeli mobil
atas namanya. Kemudian diatur surat-surat dan keperluan-keperluan lainnya.
Setelah selesai semuanya dia mengumumkan, bahwa akad yang telah ia lakukan sebenarnya
untuk orang lain, pembeli hanyalah merupakan wakil yang membeli dengan
sebenarnya, hal ini sama dengan wakalah sirriyah (perwakilan rahasia).
2.
Hazl ialah
ucapan-ucapan yang dikatakan secara main-main atau mengolok-olok (istihza) yang
tidak dikehendaki adanya akibat hukum dari akad tersebut. Hazl berwujud
beberapa bentuk, antara lain muwadha’ah yang terlebih dahulu dijanjikan,
seperti kesepakatan dua orang yang melakukan akad, bahwa akad itu hanya
main-main atau disebutkan dalam akad, seperti seseorang berkata; ”Buku ini
pura-pura saya jual kepada anda” atau dengan cara-cara lain yang menunjukan
adanya karinah hazl.
Kecederaan-kecederaan
kehendak disebabkan hal-hal berikut.
-
Ikrah, cacat
yang terjadi pada keridhaan.
-
Khilabah ialah
bujukan yang membuat seseorang menjual suatu benda, terjadi pada akad.
-
Ghalat ialah
persangkaan yang salah.
Selain akad munjiz, mu’alaq, dan mudhaf, macam-macam
akad beraneka ragam tergantung dari sudut tinjauannya. Karena ada
perbedaan-perbedaan tinjauan, maka akad di tinjau dari segi-segi berikut.[7]
1.
Berdasarkan ada
dan tidaknya qismah ada akad, maka akad terbagi dua bagian yaitu:
a.
Akad musammah,
yaitu akad yang telah ditetapkan syara’ dan telah ada hukum-hukumnya, seperti
jual beli, hibah dan ijrah;
b.
Akad ghair
musammah ialah akad yang belum ditetapkan oleh syara’ dan belum di tetapkan
hukum-hukumnya.
2.
Berdasarkan
disyariatkan dan tidaknya akad, akad terbagi 2 bagian, yaitu:
a.
Akad musyarakah
ialah akad-akad yang dibenarkan oleh syara’ seperti gadai dan jual beli;
b.
Akad mamnu’ah
iyalah akad-akad yang dilarang syara’ seperti menjual anak binatang dalam perut
induknya
3.
Berdasarkan sah
dan batalnya akad, akad terbagi menjadi dua, yaitu:
a.
Akad shahihah,
yaitu akad-akad yang mencakupi persyaratan,baik yang khusus maupun syarat yang
umum;
b.
Akad fasihah,
yaitu akad-akad yang cacat atau cederah karena kurang salah satu
syarat-syaratnya, baik syarat umum maupun syarat khusus, seperti nikah tanpah
wali.
4.
Berdasarkan
sifat bendanya,benda akad terbagi dua, yaitu:
a.
Akad
‘aniyah,yaitu akad yang di syaratkan dengan penyerahan barang-barang seperti
jual beli.
b.
Akad ghair
‘ainiyah,yaitu akad yang tidak di sertai dengan penyerahan barang-barang,karena
tanpa penyerahan barang-barangpun akad sudah berasil,seperti akad amanah.
5.
Berdasarkan cara
melakukannya, akad dibagi menjadi dua bagian, yaitu:
a.
Akad yang harus
di laksanakan dengan upacara tertentu seperti akad pernikahan dini hari oleh
dua saksi, wali, dan petugas pencatat nikah;
b.
Akad
ridha’iyah,yaitu akad-akad tanpa upacara tertentu dan terjadi karena keridhaan
dua belah pihak,seperti akd pada umumnya.
6.
Berdasarkan
berlaku dan tidaknya akad, akad menjadi dua bagian yaitu:
a.
Akad nafidzah
yaitu akad yang bebas atau terlepas dari penghalang-penghalang akad;
b.
Akad mauqufah
yaitu akad-akad yang bertalian dengan persetujuan, seperti akad fuduhli (akad
yang berlaku setelah di setujuih pemilik harta).
7.
Berdasarkan
luzum dan dapat di batalkannya, dari segi ini akad dapat dibagi 4, yaitu:
a.
Akad lazim yang
menjadi hak kedua belah pihak yang tidak dapat dipindahkan, seperti akad kawin,
manfaat perkawinan tidak bisa di pindahkan kepada orang lain, seperti
bersetubuh, tapi akad nikah dapat diakhiri dengan cara yang dibenarkan syara’,
seperti talak dan khulu’ ;
b.
Akad lazim yang
menjadi hak kedua belah pihak, dapat dipindahkan dan dirusakkan, seperti
persetujuan jual beli dan akad-akad lainnya;
c.
Akad lazim yang
menjadi hak salah satu pihak, seperti rahn, orang yang menggadai sesuatu benda
punya kebebasan kapan saja ia akan melepaskan rahn atau menembus kembali
barangnya;
d.
Akad lazim yang
menjadi hak dua belah pihak tanpa menunggu persetujuan salah satu pihak,
seperti titipan boleh diminta oleh yang menitipkan tanpa menunggu persetujuan
yang menerima titipan atau yang menerima titipan boleh mengembalikan barang
yang dititipkan kepada yang menitipkan tanpa menunggu persetujuan dari yang
nenitipkan.
8.
Berdasarkan
tukar-menukar hak, akad dibagi 3 bagian, yaitu:
a.
Akad mu’awadlah,
yaitu akad yang berlaku atas dasar timbal balik seperti jual beli;
b.
Akad tabarru’at,
yaitu akad-akad yang berlaku atas dasar pemberian dan pertolongan, seperti
hibah;
c.
Akad yang
tabaru’at pada awalnya dan menjadi akad mu’awadhah pada akhirnya, seperti
qaradh dan kafalh.
9.
Berdasarkan
harus dibayar ganti dan tidaknya, dapat dibagi menjadi 2 bagian, yaitu:
a.
Akad dhaman,
akad yang menjadi tanggung jawab pihak kedua sesudah benda-benda itu diterima,
seperti qaradh;
b.
Akad amanah,
yaitu tanggung jawab kerusakan oleh pemilik benda, bukan oleh yang memegang
barang , seperti titipan (ida’);
c.
Akad yang di
pengaruhi oleh beberapa unsur, salah satu segi merupakan dhaman,menurut segi
yang lain merupakan amanah seperti rahn (gadai).
10.
Berdasarkan
tujuan akad, maka akad dapat dibagi menjadi lima golongan,yaitu;
a.
Bertujuan
tamlik,seperti jual beli;
b.
Bertujuan untuk
mengadakan usaha bersama (perkongsian) seperti syirkah dan mudharabah;
c.
Bertujuan
tautsiq (memperkokoh kepercayaan) saja, seperti rahn dan kafalah;
d.
Bertujuan
menyerahkan kekuasaan, seperti wakalah dan washiyah;
e.
Bertujuan mengadakan
pemeliharaan, seperti ida’ atau titipan.
11.
Berdasarkan faur
dan istimar, akad dibagi menjadi dua bagian, yaitu:
a.
Akad fauriah
yaitu akad-akad yang dalam pelaksanaannya tidak memerlukan waktu yang lama,
pelaksanaan akad hanya sebentar saja, seperti jual beli;
b.
Akad istimar
disebut pula akad zamaniyah, yaitu hukum akad terus berjalan, seperti arah.
12.
Berdasarkan
asliyah dan thabi’iyah, akad dibagi menjadi 2 bagian, yaitu;
a.
Akad asliyah
yaitu akad yang berdiri sendiri tanpa memerlukan adanya sesuatu dari yang lain,
seperti jual beli dan i’arah;
b.
Akad thahiyah
yaitu akad yang membutuhkan adanya yang lain, seperti adanya rahn (gadai) tidak
dilakukan bila tidak ada hutang.
Macam-macam akad selain diatas yaitu sebagai
berikut:[8]
a.
Akad dan Iltizam
Iltizam adalah setiap tasharruf yang memunculkan
hak, memindahkannya,merevisinya, atau mengakhirinya, baik muncul dari satu
orang seperti wakaf, ibra’, dan talak
tanpa kompensasi harta, maupun dari dua orang seperti jual beli, sewa-menyewa,
dan talak yang mengandung kompensasi harta. Akad terbatas pada jenis iltizam
tertentu, yaitu iltizam yang muncul dari dua orang seperti jual beli,
sewaa-menyewa, rahn, dan sebagainya. Sementara iltizam mencakup sesuatu yang
muncul dari satu orang seperti wakaf, nadzar, sumpah dan sebagainya. Ilzam
ialah pengaruh yang umum bagi setiap akad.
Ada juga yang menyatakan bahwa ilzam ialah ketidakmungkinan bagi yang
melakukan akad untuk mencabutakadnya secara sepihak tanpa persetujuan pihak
yang lain.
b.
Akad dan
tasharruf
Tasharruf itu ada dua macam: bersifat perbuatan dan
perkataan. Tasharruf yang bersifat perbuatan adalah realitas materi (tampak
nyata) yang muncul dari seseorang seperti merampas, merusak, mengambil utang,
menerima barang , dan sebagainya. Sementara tasharruf yang bersifat perkataan
ada dua macam: bersifat akad dan non-akad. Yang bersifat akad adalah
kesepakatan antara dua kehendak seperti syirkah dan jual beli. Sementara yang
non-akad terkadang hanya berupa pemberitaan tentang hak seperti klaimdan
pengakuan, dan terkadang dimaksudkan untuk memunculkan sebuah hak atau
mengakhirinya seperti wakaf, talak, dan ibra’.
c.
Akad dan
Kehendak Sendiri
Terkadang satu kehendak bisa secara mandiri
menciptakan sebuah iltizam. Iltizam dengan satu kehendak maksudnya adalah
komitmen tentang sesuatu dimana orang yang berkomitmen menjadi berutang kepada
pihak lain dan pihak lain tersebut tidak ada ketika komitmen tersebut terjadi,
seperti janji untuk memberi penghargaan atau hadiah untuk para pemuncak
diantara orang-orang yang berhasil lulus disebuah sekolah, atau untuk orang
yang berhasil menemukan obat bagi penyakit tertentu misalnya:
1.
Ji’alah
Ji’alah
adalah komitmen (janji) akan memberikan ju’l atau upah tertentu untuk seseorang
yang melakukan sebuah pekerjaan tanpa ada batasan masa tertentu. Ini adalah hal
yang bersifat ja’iz (boleh) tetapi tidak lazim (mengikat) seperti memberikan
upah bagi orang yang bisa menemukan yang hilang, bersedia membangun sebuah
dinding, menggali sumur sampai menemukan air, lulus dalam ujian dengan nilai
memuaskan. Ji’alah ini dibolehkan oleh jumhur fuqaha dari kalangan Malikiyah,
Syafi’iyyah, dan Hanabilah, berdasarkan kisah Nabi Yusuf a.s. bersama
saudara-saudaranya.
(#qä9$s% ßÉ)øÿtR tí#uqß¹ Å7Î=yJø9$# `yJÏ9ur uä!%y` ¾ÏmÎ/ ã@÷H¿q 9Ïèt/ O$tRr&ur ¾ÏmÎ/ ÒOÏãy ÇÐËÈ
“Mereka menjawab, ‘Kami kehilangan piala raja, dan
siapa yang dapatmengembalikannnya akan memperoleh (bahan makanan seberat beban
unta, dan aku jamin itu.” (Yusuf:72)
Kalangan Hanafiyah tidak membolehkan ji’alah karena
ia mengandung unsur gharar (ketidakjelasan) dan bahaya, artinya ada unsur
ketidakjelasan dan berbagai kemungkinan yang tidak pasti baik terhadap pihak
yang menyatakan iltizam-nya, maupun pihak yang akan melakukan perbuatan yang
diminta tersebut, karena ia tidak tahu secara pasti kerja seperti apa yang
dibutuhkannya untuk menjelaskan perbuatan itu.
2.
Wakaf
Wakaf terjadi dengan keinginan al-waqif (pihak yang
berwakaf) saja. Jika wakaf itu untuk seseorang, ia berhak untuk menolaknya
kemudian wakaf tersebut dialokasikasikan untuk lembaga-lembaga sosial yang
ditentukan oleh al-waqif.
3.
Ibra’
Ibra’ adalah pengguguran seseorang terhadap haknya
pada orang lain, seperti seorang da’in (orang yang memiliki piutang) menggugurkan
utangnya yang ada dalam dzimmah madin (orang yang berutang). Ibra’ tidak
membutuhkan penerimaan dari pihak madin, namun ia akan bertolak jika si madin
menolaknya di majelis ibra’.[9]
4.
Wasiat
Wasiat
adalah tamlik (memberikan kepemilikan) yang diproyeksikan pada waktu setelah
meninggal secara sukarela baik objek yang diberikan kepemilikan itu adalah
benda maupun manfaat, seperti berwasiat sejumlah harta atau pemanfaatan rumah
untuk si fulan atau untuk lembaga soosial setelah wafatnya al-mushi (pihak yang
mewasiatkan). Jadi, wasiat merupakan akad yang terjadi dengan satu kehendak
yaitu kehendak al-mushi saja, namun menurut Hanafiyah ia tidak berlaku jika
terjadid penolakan karena pihak al-mushi tidak berhak untuk memaksa seseorang
menerima wasiatnya.
Para
fuqaha sepakat, wasiat termasuk akad yang bersifat ja’iz dan tidak lazim
(mengikat). Artinya, seseorang al-mushi berhak untuk menarik kembali apa saja
yang diwasiatkannya.
5.
Yamin (sumpah)
Yamin adalah akad yang menguatkan tekad seorang yang
bersumpah (al-halif) untuk melakukan atau meninggalkan sesuatu, seperti
kalimat, “Demi Allah, saya akan memuliakan tetangga saya,” atau “Saya akan
mengajarkan anak yatim ini dengan biaya pribadi saya.”Dengan kalimat tersebut,
apa yang ditekadkannya menjadi utang dan wajib baginya melaksanakan sumpahnya.
Jika tidak ia laksanakan, maka ia dianggap melanggar sumpah dan wajib membayar
kaffarah sumpah.
6.
Kafalah
Menurut selain Hanafiyah, kafalah adalah
menggabungkan dzimmah penjamin dengan dzimmah orang yangf dijamin dalam menunaikan
sebuah hak, maksudnya adalah dalam masalah utang, sehingga utang itu menjadi
tanggungan keduanya sekaligus.
Terjadinya kafalah cukup dengan adanya iltizam dari
kafil untuk menunaikan utang dari ia ridha untuk menunaikannya. Ini adalah
pendapat Malikiyah, Syafi’iyyah, Hanabilah, dan Abu Yusuf dari kalangan
Hanafiyyah. Jadi, rukun kafalah hanya ijab, sementara qabul dari pihak da’in
ataupun madin tidak menjadi rukun menurut mereka. Dengan demikian, kafalah
adalah iltizam dari satu pihak. Sementara itu, Abu Hanifah dan Muhammad ibnul
Hasan berpendapat bahwa rukun kafalah adalah ijab dari kafil dan qabul dari
da’in.
d.
Akad denga Satu
Keinginan
Prinsip umum dalam akad adalah pengakad atau pihak
yang berakad itu lebih dari satu. Artinya, akad itu muncul dari ijab dan qabul
yang menjadi wadah untuk mengungkapkan keinginan pihak-pihak yang berakad,
karena akad akan memunculkan efek-efek yang bersifat kontradiktif dan hak-hak
atau iltizamat yang saling berlawanan.
Akan
tetapi, sebagai pengecualian dari prinsip dasar ini, sebagai fuqaha membolehkan
adanya akad dengan satu pihak saja dalam beberapa kondisi dalam jual beli dan
pernikahan.
1.
Jual beli dengan
satu pengakad
Kalangan Hanafiyah selain Zufar membolehkan
terjadinya jual beli dengan kehendak satu orang saja, namun memiliki dua sifat
sekaligus; sebagai wakil dari penjual dan pembeli dalam saat yang sama. dan ini
dalam kondisi-kondisi yang sangat jarang terjadi yaitu seorang bapak, washi
(pihak yang diberi wasiat) atau kakek membeli harta anaknya yang masih kecil
untuk dirinya, atau menjual hartanya dari sang anak, dan seorang hakim atau
utusan yang melakukan jual belui mewakili dua pihak akad.
Kalangan Hanabilah membolehkan seorang pengakad
melakukan akad atas nama dua pihak seperti halnya seorang wakil dari kedua
pihak mengadakn akad jual beli dan akad-akad lainnya seperti sewa-menyewa
misalnya. Karena hak-hak akad, efek dan iltizam-nya-menurut mereka-kembali
kepada si muwakkil (pihak yang mewakilkan) yang memiliki kewenangan asli.
2.
Pernikahan
dengan satu pengakad
Jumhur Hanafiyyah selain Zufar membolehkan seseorang
untuk mewakili dua pihak dalam akad nikah dengan melakukan ijab yang sekaligus
juga berposisi sebagai qabul dalam lima bentuk. Apabila orang tersebut wali
dari kedua pihak, seperti seorang kakek menikahkan putri dari anaknya yang
masih kecil dengan putra dari anaknya (yang lain) yang masih kecil.
Imam asy-Syafi’i berkata, “Nikah boleh dilakukan
dengan satu pengakad apabila ia menjadi wali darikedua belah pihak, tetapi
hanya dalm kondisi jika ia seorang kakek. Kakek berhak menikahkan kedua cucunya
satu sama lain dan ia sendiri saja yang melakukan akad mewakili kedua belah
pihak. Hal ini karena ada kebutuhan untuk itu ketika tidak ada wali lain yang
setingkat dengannya dan pewaliannya lebih kuat serta rasa kasihnya lebih besar
dibanding wali-wali yang lain.”
Ada perbedaan lain antar kedua hal tersebut dari
segi hukum (artinya dampak yang ditimbulkan oleh akad) yaitu akad mesti
ditunaikan oleh pengakad baik secara agama maupun secara hukum dengan
kesepakatn para fuqaha, berdasarkan firman Allah SWT,
$ygr'¯»t úïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä (#qèù÷rr& Ïqà)ãèø9$$Î/ 4 ôM¯=Ïmé& Nä3s9 èpyJÍku5 ÉO»yè÷RF{$# wÎ) $tB 4n=÷Fã öNä3øn=tæ uöxî Ìj?ÏtèC Ïø¢Á9$# öNçFRr&ur îPããm 3 ¨bÎ) ©!$# ãNä3øts $tB ßÌã ÇÊÈ
1. Hai orang-orang yang beriman, penuhilah
aqad-aqad itu[388]. Dihalalkan bagimu binatang ternak, kecuali yang akan
dibacakan kepadamu. (yang demikian itu) dengan tidak menghalalkan berburu
ketika kamu sedang mengerjakan haji. Sesungguhnya Allah menetapkan hukum-hukum
menurut yang dikehendaki-Nya.(QS.
Al-Maa’idah:1)
e.
Akad dan Iltizam
Iltizam adalah setiap tasharruf yang memunculkan
hak,memindahkannya, merevisinya, atau mengakhirinya, baik muncul dari satu
orang seperti wakaf, ibra’, dan talak
tanpa kompensasi harta, maupun dari dua orang seperti jual beli, sewa-menyewa,
dan talak yang mengandung kompensasi harta. Akad terbatas pada jenis iltizam
tertentu, yaitu iltizam yang muncul dari dua orang seperti jual beli,
sewaa-menyewa, rahn, dan sebagainya. Sementara iltizam mencakup sesuatu yang
muncul dari satu orang seperti wakaf, nadzar, sumpah dan sebagainya. Iltizam
ialah keharusan mengerjakan sesuatu atau tidak mengerjakan sesuatu untuk
kepentingan orang lain.
Kaitannya
dengan fiqih muamalah, bahwa pengaruh adanya akad sudah pasti mempunyai dampak,
baik bagi pihak pembeli maupun bagi pihak penjual, seperti mobil yang harganya
mahal pasti akan berpengaruh kepada orang yang membeli, yaitu mempunyai
kharisma yang lebih tinggi. Tetapi kalau yang dibeli barang biasa dan murah
dampaknya kurang terlihat, baik bagi si pembeli maupun bagi penjual.
Para
ulama fiqih mengemukakan bahwa akad itu dapat dibagi, dilihat dari beberapa
segi keabsahannya menurut syara’ akad terbagi dua yaitu:
1.
Akad Sahih,
ialah akad yang telah memenuhi rukun-rukun dan syaratnya. Hukum ini berlaku
seluruh akibat hukum yang ditimbulkan akad itu dan mengikat kepada pihak-pihak
yang berakad. Akad sahih ini dibagi lagi loe ulama Hanafiyah dan Malikiyah
menjadi dua macam yaitu:
a.
Akad yang nafiz
(sempurna untuk dilaksanakan) yang sesuai rukun, syarat dan tidak ada
penghalang untuk melaksanakannya.
b.
Akad mawquf
yaitu akad yang dilakukan pengetahuan hukum tetapi tidak memiliki kekuasaan
untuk melaksanakan dan mengguanakannya.
2.
Akad yang tidak
Sahih, yaitu akad yang memiliki kekurangan pada rukun dan syaratnya, sehingga
seluruh akibat hukum akad itu tidak berpihak dan memikat pihak manapun. Ulama
hanafiyah membagi dua macam yaitu akad yang batil dan fasid.
D.
Syarat- syarat akad.
Syarat terjadinya akad adalah
sesuatu yang diisyaratkan untuk terjadinya akad secara syara. Jika tidak
memenuhi hal itu maka akad batal. Terbagi atas dua yaitu umum yakni
syarat-syarat yang harus ada dalam setiap akad. Dan khusus yakni syarat-syarat
yang harus ada disebagian akad dan tidak diisyaratkan pada bagian-bagiian
lainnya.
Adapun syarat
terjadinya akad ada dua macam, sebagai berikut:
1.
Syarat-syarat
yangbersifat umum, yaitu syarat yang wajib sempurna wujudnya dalam berbagai
akad
a. Pihak-pihak
yang melakukan akad ialah yang dipandang mampu bertindak menurut hukum
(mukalaf). Apabila belum mampu, harus dilakukan oleh walinya.
b. Objek
akad itu diketahui oleh syara’. Objek akad ini harus memenuhi syarat:
1)
Berbentuk harta,
2)
Dimiliki
seseorang, dan
3)
Bernilai harta menurut
syara’.
c. Akad itu tidak dilarang oleh nash
syara’.
d. Akad yang dilakukan itu memenuhi
syarat-syarat khusus dengan akad
yang bersangkutan, disamping harus
memenuhi syarat-syarat umum.
d. Akad itu bermanfaat.
e. Ijab tetap utuh
sampaitaerjadi kabul.
2.
Syarat-syarat
yang bersifat khusus, yaitu syarat yang wujudnya wajib ada dalam sebagian akad.
Syarat khusus ini bisa juga disebut idhafi (tambahan) yang harus ada di samping
syarat-syarat yang umum, seperti syarat adanya saksi dalam pernikahan.[10]
Syarat-syarat
umum yang harus dipenuhi dalam berbagai macam akad, adalah sebagai berikut.
a. Kedua
orang yang melakukan akad cakap bertindak (ahli). Tidak sah akad orang yang
tidak cakap bertindak, seperti orang gila, orang yang berada di bawah
pengampunan (mahjur) karena boros atau yang lainnya.
b. Objek
akad dapat menerima hukumnya.
c. Akad
itu diizinkan oleh syara’, dilakukan oleh orang yang mempunyai hak melakukannya
walaupun dia bukan aqad yang memiliki barang.
d. Bukan
akad yang dilarang oleh syara’, seperti jual beli mulasamah.
e. Akad
dapat memberikan aidah,sehingga tidaklah sah bila rahn dianggap sebagai
imbangan amanah.
f. Ijab
itu berjalan terus, tidak dicabut sebelum terjadi kabul, maka bila orang yang
berijab menarik kembali ijabnya sebelum kabul,maka batal ijabnya.
g. Ijab
dan kabul mesti bersambung, sehingga bila seseorang yang berijab sudah berpisah
sebelum adanya kabul, maka ijab tersebut menjadi batal.
E. Cara
membatalkan Akad (berakhirnya akad).
Suatu
akad akan berakhir apabila apabila telah tercapai tujuan-tujuannya. Dalam akad
jual beli misalnya, akad dipandang telah berakhir apabila barang telah
berpindah milik kepada pembeli dan harganya telah menjadi milik penjual. Selain
telah tercapai tujuannya, akad dipandang berakhir apabilaterjadi fasakh
(pembatalan), atau telah berakhirnya waktu.
Fasakh terjadi dengan
sebab-sebab sebagai berikut:
1.
Di-fasakhi
(dibatalkan) disebabkan karena akad rusak, seperti barangnya rusak.
2.
Adanya khiyar,
baik khiyar rukyat, syarat dan cacat atau majelis.
3.
Karena kewajiban
yang ditimbulkan oleh adanya akad tidak dipenuhi oleh pihak bersangkutan.
4.
Karena habis
waktuny dan karena kermatian.
5.
Karena tidak
dapat izin dari pihak yang bersangkutan.
6.
Salah satu pihak
yanng bersangkutan membatalkan karena merasa akad membatalkan.
7.
Karena sifatnya tidak mengikat.
8.
Apabila sifatnya mengikat maka bisa berakhir dengan cara
jual beli itu fasad, akad tidak dilakukan oleh satu pihak, dan tercapainya akad
itu sampai sempurna.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Akad merupakan suatu ikatan dan
kesepakatan antara dua orang atau lebih untuk melakukan suatu perjanjian, dan
tidak semua perjajian dikatakan sebagai akad karena akad memiliki suatu syarat
tertentu untuk menjadikan dasaran akad yaitu dengan adanya ucapan “ijab qobul”
sesuai dengan ketentuan syariat islam. Ijab qobul itu sendiri merupakan suatu
ungkapan atau kesepakatan dua orang
ataupun lebih untuk melakukan kontrak. Suatu akad akan terpenuhi jika rukun itu
sendiri terpenuhi dengan adanya akid (orang yang berakad) dan Ma’qud Alaih
(suatu yang diakadkan).
Rukun akad secara terminologis
menurut hanafiyah adalah sesuatu yang adanya sesuatu yang lain bergantung
kepadaanya dan ia merupakan bagian dari hakikat sesuatu tersebut. Dalam
muamalah ijab dan qobul atau menggantikan posisi keduanya adalah rukun akad.
Jadi rukun akad adalah segala sesuatu yang mengungkapkan kesepakatan dua
kehendak atau yang menggantikan posisinya baik berupa perbuatan, isyarat maupun
tulisan. Ada 3 rukunnya yaitu: aqid (pengakad), ma’qud alaih (objek yang
diakadkan), dan shignat (diakadkan).
Suatu
akad akan berakhir apabila apabila telah tercapai tujuan-tujuannya. Dalam akad
jual beli misalnya, akad dipandang telah berakhir apabila barang telah
berpindah milik kepada pembeli dan harganya telah menjadi milik penjual.
B. SARAN
Demikianlah yang dapat saya sampaikan, tentunya
banyak kekurangan dan kelemahan karena terbatasnya pengetahuan. Semoga dapat
bermanfaat bagi pembaca apabila ada saran maupun kritik yang ingin disampaikan
pada saya silahkan sampaikan kepada saya. Apabila ada kesalahan saya mohon maaf
dan dimaklumi, karena saya adalah manusia dan hamba Allah yang tidak luput dari
kekurangan maupun kesalahan.
DAFTAR PUSTAKA
Mardani,
2012. Fiqih Ekonomi Syariah.Jakarta:
Prenada Media Group.
Sahrani Sohari,
Ru’fah Abdullah, 2001. Fiqih Muamallah,
Bogor: Ghalia Indonesia.
Az-zuhaili Wahbah.2011, Fiqih Islam Wa
Adillatuhu, Jakarta: Gema Insani.
Hendi Suhendi, 1997,Fiqih
Muamalah, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
ash
Shiddieqy Teungku Muhammad Hasbi,2001 Pengantar FiqihMuamalah. Semarang:
PT Pustaka Rizki Putra.
Dkk,Abdul Rahman Ghazaly,2010,
Fiqih Muamalat. Jakarta: Penada Media Group, 2010
Abduliah al-Mushlih,2004 Fiqih
Ekonomi Keuangan Islam,Jakarta: Darul Haq.
[1]Sohari Sahrani, Ru’fah Abdullah, Fiqih Muamallah, (Bogor: Ghalia
Indonesia, 2011), cet 1,hlm, 42
[2]Abdul Rahman Ghazaly.dkk,Fiqih
Muamalat.(Jakarta: Penada Media Group, 2010), hlm 50-58
[3]Mardani, fiqih Ekonomi Syariah.(Jakarta: Prenada Media Group),cet 1. hlm 91.
[4]Wahbah Az-zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, (Jakarta:
Gema Insani,2011) terj, hlm 431
[5]Ibid hlm 444
[6]Hendi Suhendi, Fiqih Muamalah,(Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 1997), hlm.41-47
[7] Ibid hlm 56
[8]Teungku Muhammad Hasbi ASH
Shiddieqy, Pengantar Fiqih Muamalah.(Semarang:
PT Pustaka Rizki Putra, 2001), hlm 93
[9] Ibid hlm 108
[10]Abduliah al-Mushlih, Fiqih
Ekonomi Keuangan Islam, (Jakarta: Darul Haq, 2004), hlm 26-30
Komentar
Posting Komentar