Akad



MAKALAH FIQIH
TENTANG AKAD, SYARAT, MACAM DAN CARA PEMBATALANNYA.
D
I
S
U
S
U
N
OLEH:
NAMA          : Ade Sri Wulan Pane                           
NIM              : 1530100006            
SEM/JUR     : KPI/ V(LIMA)

Dosen pengampuh:
Zilfaroni, S.Sos.I.,M.A
FAKULTAS DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
PADANGSIDIMPUAN
T.A. 2017/2018

KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Warahmatullah Wabarakatu...
 Puji syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayahnya sehingga saya dapat menyelesaikan tugas makalah  ini dengan judul “Akad, syaratnya, macamnya dan cara pembatalannya”,serta tak lupa pula saya haturkan shalawat serta salam kepada junjungan Nabi kita Muhammad SAW yang telah membawa kita dari zaman jahilia, dari zaman kebodohan menuju zaman yang sekarang ini yakni zaman yang penuh dengan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Makalah ini di persiapkan dan di susun untuk memenuhi tugas kuliah serta menambah wawasan dan ilmu pengetahuan, di dalam makalah ini saya menyadari bahwa penulisanya masih sangat sederhana dan jauh dari kesempurnaan. Namun, besar harapan saya semoga makalah yang disusun ini bisa bermanfaat. Saya selaku penulis makalah ini dapat terselesaikan atas usaha keras saya dan bantuan rekan-rekan dalam diskusi untuk mengisi kekuranganya.
Dalam pembuatan makalah ini saya sangat menyadari bahwa baik dalam penyampaian maupun penulisan masih banyak kekurangannya untuk itu saran dan kritik dari berbagai pihak sangat saya harapkan untuk penunjang dalam pembuatan makalah saya berikutnya.
 Wassalamualaikum Warahmatullah Wabarakatuh...



   Padangsidimpuan, 31 Agustus 2017

     Penulis







DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR............................................................................................. ............. i
DAFTAR ISI............................................................................................................ ............. ii
BAB I PENDAHULUAN..................................................................................................... 1
         A. Latar Belakang........................................................................................................ 1
         B. Rumusan Masalah................................................................................................... 2
         C. Tujuan...................................................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN....................................................................................................... 3
        A. Pengertian Akad....................................................................................................... 3
        B. Rukun-rukun Akad.................................................................................................. 5
        C. Macam-macam Akad............................................................................................... 6
        D. Syarat-syarat Akad................................................................................................. 15
        E. Cara Pembatalan Akad.......................................................................................... 16
BAB III PENUTUP................................................................................................. ........... 17
   A. Kesimpulan................................................................................................. ........... 17
   B. Saran .......................................................................................................... ........... 17
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................. ........... 18















BAB 1
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Sebagai makhluk sosial, manusia tidak bisa hidup sendiri dan memerlukan bantuan dari orang lain dalam memenuhi kehidupan hidupnya. Kebutuhan manusia sangat beragam dan sangat memerlukan bantuan hidup dari orang lain agar kehidupanya bisa terpenuhi lebih mudah dengan cara berhubungan yang baik dan teratur agar tidak ada yang merugikan orang lain. Muamalah adalah aspek hukum Islam yang ruang lingkupnya luas. Pada dasarnya aspek hukum Islam yang bukan ibadah seperti sholat, puasa, zakat, haji, digolongkan muamalah. Karena itu masalah pidana dan perdata digolongkan hukum muamalah. Dalam pembahasan Fiqih Muamalah, akad dapat digunakan bertransaksi sangat beragam, sesuai dengan karakteristik dan spesipikasi kebutuhan yang ada.
Akad merupakan suatu ikatan dan kesepakatan antara dua orang atau lebih untuk melakukan suatu perjanjian, dan tidak semua perjajian dikatakan sebagai akad karena akad memiliki suatu syarat tertentu untuk menjadikan dasaran akad yaitu dengan adanya ucapan “ijab qobul” sesuai dengan ketentuan syariat islam. Ijab qobul itu sendiri merupakan suatu ungkapan  atau kesepakatan dua orang ataupun lebih untuk melakukan kontrak. Suatu akad akan terpenuhi jika rukun itu sendiri terpenuhi dengan adanya akid (orang yang berakad) dan Ma’qud Alaih (suatu yang diakadkan).
Di Indonesia akad sering dilakukan oleh masyarakat bahkan mayoritas masyarakat menggunakan dalam hal jual beli maupun hal lain. Kata akad sering juga didengar oleh masyarakat dan bahkan sudah sering dilakukan dalam kehidupan sehari-hari tanpa kita sadari. Bahkan sebagian masyarakat sering melakukan akad tanpa dia mengerti apa itu akad sesuai dengan syariat Islam maupun tidak, sehingga muncul berbagai masalah ataupun konflik antar dua pihak. Maka dalam hal itu, saya menguraikan mengenal berbagai hal yang terkait dengan akad dalam pelaksanaan muamalah didalam kehidupan sehari-hari. Karena akad adalah akar atau pokok utama dalam semua transaksi dalam kehidupan bermasyrakat.





B.     RUMUSAN MASALAH
1. Apa pengertian akad?
2. Apa saja syarat-syarat akad?
3. Apa saja rukun-rukun akad?
4. Apa saja macam-macam akad?
4. Bagaimana cara membatalkan akad?

C.    TUJUAN
Sesuai dengan rumusan masalah diatas, penulisan ini bertujuan untuk menginformasikan dan menjelaskan tentang akad yang sesuai dengat syariat islam dalam prespektif fiqih muamala. Secara khusus makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah fiqih muamalah serta menginformasikan wawasan dan pengetahuan ke teman-teman jurusan kpi semester lima.




















BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Akad
Sebelum kita mengetahui tentang pengertian akad, kita harus tahu dulu asal usul akad, dan saya jelaskan dibawah ini:
Syariat islam mengajarkan pada manusia agar menjalankan aktivitasnya berdasarkan aturan yang telah di tentukan oleh Allah SWT. Dan Rasul-Nya. Begitupun dalam men-tasarruf-kan (menjalankan) kegiatan muamalah. Sebagaimana diketahui, bahwa akad merupakan bagian dari macam-macam tasharuf. Adapun yang dimaksud tasharruf aialah:
“Segala yang keluar dari seseorang manusia dengan kehendaknya dan syara’ menetapkan beberapa haknya.”
Tasharruf terbagi du, yaitu tasharruf fi’il dan tasharruf qauli. Tasharruf fi’il ialah usaha yang dilakukan menusia dengan tenaga dan badannya,selain lidah. Misalnya memanfaatkan tanah yang tandus. Sedangkan, tasharruf qauli ialah tasharruf yang keluar dari lidah manusia. Tasarruf qauli terbagi dua, yaitu ‘aqdi dan  bukan ‘aqdi. Tasharruf auli ‘aqdi ialah:
”Sesuatu yang dibentuk dari dua belah pihak yang bertalian.”
Contoh tasharruf qauli ‘aqdi, adalah jual beli, sewa-menyewa, dan perkongsian. Tasharruf qauli bukan ‘aqdi ada dua macam, yaitu sebagai berikut
a.                Merupakan pernyataan pengadaan sesuatu hak atau mencabut suatu hak, seperti wakaf, talak, dan memerdekakan.
b.                Tidak menyatakan suatu kehendak, tetapi dia muwujudkan tuntunan-tuntunan hak. Misalnya gugatan,iqrar, dan sumpah untuk menolak gugatan.
Akad dalam bahasa Arab yang berarti ikatan, keputusan maupun penguatan (atau pengencangan dan penguatan) antara beberapa pihak dalam hal tertentu, aik itu bersifat konkret maupun abstrak, baik itu satu sisi maupun dalam dua sisi. Akad menurut wahda Al- suhaily akad adalah ikatan antara dua perkara yakni ikataan secara nyata maupun secara maknawi dari satu segi maupun dua segi dengan kata lain. Dalam kitab Misbah al-Munir dan kitab-kita bahasa lainnya diseutkan ‘aqada al-habl (mengikat tali) atau ‘aqada al-bay’(mengikat jual beli) atau aqaida al-’ahd (mengiingkat perjanjian).[1]
Menurut fuqaha akad memiliki dua pengertian: umum dan khusus.
1. Akad secara umum atau disebut secara bahasa dan terbesar dari fuqaha Malikiyah, Syafi’iyah dan hanabilah yaitu “seiap sesuatu yang ditekadkan oleh seseorang untuk melakukannya baik muncul dalam kehendak sendiri seperti wakaf, ibra (pengguguran hak), talak dan sumpah, maupun yang membutuhkan dua kehendak dalam menciptakannya seperti jual beli, sewa-menyewa maupun diwakili dan rahn (jaminan).
2.  Akad secara khusus akad adalah perikatan yang diikatkan dengan perkataan ijab dan qobul berdasarkan syariat islam. Contohnya: Orang pertama  “Saya telah menjual barang ini kepadamu”(ijab). Orang Kedua “Saya membeli barang ini kepadamu” (qobul).  Qabul terikat dengan Ijab maka itu sesuai dengan syaraiat Islam. Dan barang tersebut dari orang pertama disah menjadi milik orang kedua, orang pertama tidak memiliki hak lagi tentang barang itu.
Akad juga memiliki arti yaitu secara etimologi (bahasa), ‘aqad mempunyai beberapa arti, antara lain:
a.       Mengikat (ar-rabthu), yaitu:
“Mengumpulkan dua ujung tali dan mengikat salah satunya dengan yang lain sehingga bersambung kemudian keduanya menjadi sebagai sepotong benda.”
b.      Sambungan (aqdatun), yaitu:
“Sambungan yang memegang kedua ujung itu dan mengikatnya.”
c.       Janji (Al-‘Ahdu) sebagaimana dijelaskan dalam Al-qur’an:
“Hai orang-orang yang beriman tepatilah janji-janjimu.”
Istilah ‘ahdu dalam Al-Qur’an mengacu kepada pernyataan seseorang mengerjakan sesuatu dan tidak yang ada sangkut-pautnya dengan orang lain. Perjanjian yang dibuat seseorang tidak memerlukan persetujuan persetujuan pihak lain, baik setuju maupun tidak setuju, tidak berpengaruh kepada janji yang dibuat oleh orang tersebut.
Perkataan ‘aqdhu mengacu terjadinya dua perjanjian atau lebih, yaitu bila seseorang mengadakan janji kemudian ada orang lain yang menyetujui janji tersebut, serta menyatakan pula suatu janji yang berhubungan dengan janji yang pertama. Terjadinya perikatan dua buah janji (‘ahdu) dari dua orang yang mempunyai hubungan antara yang satu dengan yang lain disebut perikatan (‘aqad).[2]
Dari uraian di atas dapat dicermati, bahwa setiap ‘aqdi (persetujuan) mencakupi tiga tahap, yaitu:
a.       Perjanjian (‘ahdu);
b.      Persetujuan duah buah perjanjian ata lebih; dan
c.       Perikatan (‘aqdu)
Menurut istilah (terminologi), yangdimaksud dengan akad ialah:
“Aqad yaitu tasarruf antara dua pihak dan timbulnya ikatan-ikatan atau kewajiban-kewajiban yang dipelihara oleh keduanya.”
32. wanita itu berkata: "Itulah Dia orang yang kamu cela aku karena (tertarik) kepadanya, dan Sesungguhnya aku telah menggoda Dia untuk menundukkan dirinya (kepadaku) akan tetapi Dia menolak. dan Sesungguhnya jika Dia tidak mentaati apa yang aku perintahkan kepadanya, niscaya Dia akan dipenjarakan dan Dia akan Termasuk golongan orang-orang yang hina."
Dalam definisi yang lain dikemukakan:
“Perikatan ijab kabul yang dibenarkan syara’ yang menetapkan keridhaan seseorang yang berpengaruh pada kedua pihak.”
B. Rukun  Akad.
Rukun akad secara terminologis menurut hanafiyah adalah sesuatu yang adanya sesuatu yang lain bergantung kepadaanya dan ia merupakan bagian dari hakikat sesuatu tersebut. Dalam muamalah ijab dan qobul atau menggantikan posisi keduanya adalah rukun akad. Jadi rukun akad adalah segala sesuatu yang mengungkapkan kesepakatan dua kehendak atau yang menggantikan posisinya baik berupa perbuatan, isyarat maupun tulisan. Ada 3 rukunnya yaitu: aqid (pengakad), ma’qud alaih (objek yang diakadkan), dan shignat (diakadkan). [3]
Para ulama lainnya juga menyebutkan bahwa akad terbagi atas 3 yaitu:
a.       Kesepakatanuntuk mengikatkan diri ( shighat al-‘aqd)
b.      Pihak-pihak yang berakad (al-muta’aqidain/al-‘aqidain
c.       Objek akad (al-ma’qud alaih/mahal al-‘aqd)
d.      Tujuan akad.

Adapun rukun akad sebagai berikut:
1.        ‘aqad ialah orang yang berakad, terkadang masing-masing pihak terdiri atas satu orang, terkadang terdiri atas beberapa orang misalnya penjual dan pembeli beras di pasar biasanya mesing-masing pihak satu orang.
2.        Ma’qud alaih benda-benda yang diakadkan, seperti benda-benda yang dijualkan dala akad jual beli.
3.        Maudhu ‘al’aqad ialah tujuan atau maksud pokok mengadakan akad. Berbeda akad maka berbedalah tujuan akad.
4.        Shighat al’aqad ialah ijab dan kabul, ijab ialah pemulaan penjelasan yang keluar dari sala seorang yang berakad sebagai gambaran kehendaknya dalam mengadakanakad, sedangkan kabul ialah perkataan yang keluar dari pihak berakad pula, yang diucapkan setelah adanya ijab. Pengaertian ijab kabul dalam pengalaman dewasa ini ialah bertukaranyasesuatu terkadang tidak berhadapan,  misalnya seseorang yang berlangganan majalah Panjimas, pembeli mengirimkan uang melalui pos wesel dan pembeli  menerima majalah tersebut dari petugas pos.

Hal-hal yang harus diperhatikan dalam shighat al-‘aqad ialah sebagai berikut:
a.                 shighat al-‘aqad harus jelas pengertiannya. Kata-kata dalam ijab kabul harus jelas dan tidak memiliki banyak pengertian.
b.                Harus bersesuaian antara ijab dan kabul. Tidak boleh antara yang berijab dan yang menerima berbeda lafaz.
c.                 Menggambarkan kesungguhan kemauan dari pihak-pihak yang bersangkutan, tidak terpaksa dan tidak karena diancam atau ditakut-takuti  oleh orang lain karena dalam tijarah harus saling ridha.
d.                Mengucapkan dengan lidah merupakan salah satu cara yang ditempuh dalam mengadakan akad, tetapi ada juga cara lain yang dapat menggambarkan kehendak untuk berakadl. Para ulama menerangkan beberapa cara yang ditempuh dalam akad, sebagai berikut:
1.      Dengan cara tulisan (kitabah), misalnya dua akad berjauhan tempatnya, maka ijab kabul boleh dengan cara kitabah, atas dasar inilah fukaha membentuk kaidah.
2.      Isyarat, bagi orang tertentu akad atau ijab dan kabul tidak dapat dilaksanakan dengan ucapan dan tulisan, misalnya seseorang yang bisu tidak dapat mengadakan ijab kabul dengan bahasa.
e. Tu’athi (saling memberi), seperti seseorang yang melakukan pemberian kepada seseorang dan orang tersebut memberikan imbalan kepada yang memberi tanpa ditentukan besar imbalan.
f. Lisan al-hal, menurut sebagian ulama, apabila seseorang meninggalkan barang-barang dihadapan orang lain, kemudian dia pergi dan orang yang ditinggali barang itu berdiam diri saja, hal itu dipandang telah ada akad ida’ (titipan) antara orang yang meletakan  barang dengan yang menghadapi letakan barang titipan dengan jalan dalalat al-hal.[4]
C.      Macam Akad.
Yang dimaksud dengan unsur-unsur akad adalah penompang-penompang yang dengannya muncullah akad dan akad tidak akan ada kecuali jika ia ada.  Unsur-unsur akad itu ada empat yaitu:
1. Shighat Akad adalah sesuatu yang muncul dari kdua oran berakad dan menunjukan
adanya keinginan batin dari keduanya untuk membuat akaddan menyempurnakannya. Dengan lafaz atau perkataan atau yang menggantikan  posisinya terdapat dalam surah an-Nisa 29, materi yang disampaikan harus nyata dan langsung tatap muka menurut hanafiyah dan malikiyah.
$ygƒr'¯»tƒ ÓÉ<¨Z9$# !$¯RÎ) $oYù=n=ômr& y7s9 y7y_ºurør& ûÓÉL»©9$# |MøŠs?#uä  Æèduqã_é& $tBur ôMs3n=tB y7ãYÏJtƒ !$£JÏB uä!$sùr& ª!$# šøn=tã ÏN$oYt/ur y7ÏiHxå ÏN$oYt/ur y7ÏG»£Jtã ÏN$oYt/ur y7Ï9%s{ ÏN$oYt/ur y7ÏG»n=»yz ÓÉL»©9$# tböy_$yd šyètB Zor&zöD$#ur ºpoYÏB÷sB bÎ) ôMt7ydur $pk|¦øÿtR ÄcÓÉ<¨Z=Ï9 ÷bÎ) yŠ#ur& ÓÉ<¨Z9$# br& $uhysÅ3ZtFó¡o Zp|ÁÏ9%s{ y7©9 `ÏB Èbrߊ tûüÏZÏB÷sßJø9$# 3 ôs% $uZ÷KÎ=tæ $tB $oYôÊtsù öNÎgøŠn=tæ þÎû öNÎgÅ_ºurør& $tBur ôMx6n=tB öNßgãZ»yJ÷ƒr& ŸxøŠs3Ï9 tbqä3tƒ šøn=tã Óltym 3 šc%x.ur ª!$# #Yqàÿxî $VJŠÏm§ ÇÎÉÈ  
50. Hai Nabi, Sesungguhnya Kami telah menghalalkan bagimu isteri- isterimu yang telah kamu berikan mas kawinnya dan hamba sahaya yang kamu miliki yang Termasuk apa yang kamu peroleh dalam peperangan yang dikaruniakan Allah untukmu, dan (demikian pula) anak-anak perempuan dari saudara laki-laki bapakmu, anak-anak perempuan dari saudara perempuan bapakmu, anak-anak perempuan dari saudara laki-laki ibumu dan anak-anak perempuan dari saudara perempuan ibumu yang turut hijrah bersama kamu dan perempuan mukmin yang menyerahkan dirinya kepada Nabi kalau Nabi mau mengawininya, sebagai pengkhususan bagimu, bukan untuk semua orang mukmin. Sesungguhnya Kami telah mengetahui apa yang Kami wajibkan kepada mereka tentang isteri-isteri mereka dan hamba sahaya yang mereka miliki supaya tidak menjadi kesempitan bagimu. dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (al-ahzaab:50), untuk pernikahan harus ada aqid, wali, dan susuatu yang diakadkan (an-nisa: 3 dan al-ahzaab-37).
÷bÎ)ur ÷LäêøÿÅz žwr& (#qäÜÅ¡ø)è? Îû 4uK»tGuø9$# (#qßsÅ3R$$sù $tB z>$sÛ Nä3s9 z`ÏiB Ïä!$|¡ÏiY9$# 4Óo_÷WtB y]»n=èOur yì»t/âur ( ÷bÎ*sù óOçFøÿÅz žwr& (#qä9Ï÷ès? ¸oyÏnºuqsù ÷rr& $tB ôMs3n=tB öNä3ãY»yJ÷ƒr& 4 y7Ï9ºsŒ #oT÷Šr& žwr& (#qä9qãès? ÇÌÈ  
3. dan jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. kemudian jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil[265], Maka (kawinilah) seorang saja[266], atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.
øŒÎ)ur ãAqà)s? üÏ%©#Ï9 zNyè÷Rr& ª!$# Ïmøn=tã |MôJyè÷Rr&ur Ïmøn=tã ô7Å¡øBr& y7øn=tã y7y_÷ry È,¨?$#ur ©!$# Å"øƒéBur Îû šÅ¡øÿtR $tB ª!$# ÏmƒÏö7ãB Óy´øƒrBur }¨$¨Z9$# ª!$#ur ,ymr& br& çm9t±øƒrB ( $£Jn=sù 4Ó|Ós% Ó÷ƒy $pk÷]ÏiB #\sÛur $ygs3»oYô_¨ry ös5Ï9 Ÿw tbqä3tƒ n?tã tûüÏZÏB÷sßJø9$# Óltym þÎû Ælºurør& öNÎgͬ!$uÏã÷Šr& #sŒÎ) (#öqŸÒs% £`åk÷]ÏB #\sÛur 4 šc%x.ur ãøBr& «!$# ZwqãèøÿtB ÇÌÐÈ  
37. dan (ingatlah), ketika kamu berkata kepada orang yang Allah telah melimpahkan nikmat kepadanya dan kamu (juga) telah memberi nikmat kepadanya: "Tahanlah terus isterimu dan bertakwalah kepada Allah", sedang kamu Menyembunyikan di dalam hatimu apa yang Allah akan menyatakannya, dan kamu takut kepada manusia, sedang Allah-lah yang lebih berhak untuk kamu takuti. Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap Istrinya (menceraikannya), Kami kawinkan kamu dengan dia[1219] supaya tidak ada keberatan bagi orang mukmin untuk (mengawini) isteri-isteri anak-anak angkat mereka, apabila anak-anak angkat itu telah menyelesaikan keperluannya daripada isterinya[1220]. dan adalah ketetapan Allah itu pasti terjadi. (al-ahzaab-37).
Setelah dijelaskan syarat-syarat akad, pada bagian ini akan dijelaskan macam-macam akad.
1.      Aqad munjiz ialah akad yang dilaksanakan langsung pada waktu selesainya akad. Pernyataan akad yang diikuti dengan pelaksanaa akas ialah tidak disertai dengan syarat-syarat dan tidak pula ditentukan waktu pelaksanaan setelah adanya akad.
2.      Aqad mu’alaq ialah akad yang dalam pelaksanaanya terdapat syarat-syarat yang telah ditwntukan dalam akad, misalnya penentuan penyerahan barang-barang yang diakadkan setelah adanya pembayaran.
3.      Aqad mudhaf ialah akad yang dalam pelaksanaannya terdapat syarat-syarat mengenai penanggulangan pelaksanaan akad, pernyataan yang pelaksanaannya ditangguhkan hingga waktu yang ditentukan. Perkataan ini sah dilakukan pada waktu akad, tetapi belum mempunyai akibat hukum sebelum tibanya waktu yang telah ditentukan.[5]
Perwujudan akad tampak ternyata pada keadaan berikut.
1.      Dalam keadanan muwadha’ah (taljiah), yaitu kesepakatan dua orang secara rahasia untuk mengumumkan apa yang tidak sebenarnya. Hal ini ada 3 bentuk, sebagai berikut.
a.       Bersepakat secara rahasia sebelum melakukan akad, bahwa mereka berdua akan mengadakan jual beli atau yang lainnya secara lahiriah saja untuk menimbulkan sangkaan orang lain, bah benda tersebut telah dijual, misalnya menjual hata untuk menghindari pembayaran utang. Hal ini disebut mu’tawadhah pada asal akad.
b.      Muawadlah terhadap benda yang digunakan untuk akad. Misalnya 2 orang bersepakat menyebut mahar dalam jumlah yang besar dihadapan Na’ib. Wali pengantin laki-laki dan wali pengantin wanita sepakat untuk menyebut dalam jumlah yang besar. Sedangkan mereka sebenarnya telah sepakat pada jumlah yang lebih kecil dari jumlah yang disebutkan dihadapan na’ib. Hal ini disebut juga  muwadha’ah fi al-badal.[6]
c.       Mu’wadlah pada pelaku ialah seorang yang secara lahiriah membeli sesuatu atas namany sendiri secara batiniah untuk keperluan orang lain. Misalnya seseorang membeli mobil atas namanya. Kemudian diatur surat-surat dan keperluan-keperluan lainnya. Setelah selesai semuanya dia mengumumkan, bahwa akad yang telah ia lakukan sebenarnya untuk orang lain, pembeli hanyalah merupakan wakil yang membeli dengan sebenarnya, hal ini sama dengan wakalah sirriyah (perwakilan rahasia).
2.      Hazl ialah ucapan-ucapan yang dikatakan secara main-main atau mengolok-olok (istihza) yang tidak dikehendaki adanya akibat hukum dari akad tersebut. Hazl berwujud beberapa bentuk, antara lain muwadha’ah yang terlebih dahulu dijanjikan, seperti kesepakatan dua orang yang melakukan akad, bahwa akad itu hanya main-main atau disebutkan dalam akad, seperti seseorang berkata; ”Buku ini pura-pura saya jual kepada anda” atau dengan cara-cara lain yang menunjukan adanya karinah hazl.
Kecederaan-kecederaan kehendak disebabkan hal-hal berikut.
-        Ikrah, cacat yang terjadi pada keridhaan.
-        Khilabah ialah bujukan yang membuat seseorang menjual suatu benda, terjadi pada akad.
-        Ghalat ialah persangkaan yang salah.
Selain akad munjiz, mu’alaq, dan mudhaf, macam-macam akad beraneka ragam tergantung dari sudut tinjauannya. Karena ada perbedaan-perbedaan tinjauan, maka akad di tinjau dari segi-segi berikut.[7]
1.      Berdasarkan ada dan tidaknya qismah ada akad, maka akad terbagi dua bagian yaitu:
a.       Akad musammah, yaitu akad yang telah ditetapkan syara’ dan telah ada hukum-hukumnya, seperti jual beli, hibah dan ijrah;
b.      Akad ghair musammah ialah akad yang belum ditetapkan oleh syara’ dan belum di tetapkan hukum-hukumnya.
2.      Berdasarkan disyariatkan dan tidaknya akad, akad terbagi 2 bagian, yaitu:
a.       Akad musyarakah ialah akad-akad yang dibenarkan oleh syara’ seperti gadai dan jual beli;
b.      Akad mamnu’ah iyalah akad-akad yang dilarang syara’ seperti menjual anak binatang dalam perut induknya
3.      Berdasarkan sah dan batalnya akad, akad terbagi menjadi dua, yaitu:
a.       Akad shahihah, yaitu akad-akad yang mencakupi persyaratan,baik yang khusus maupun syarat yang umum;
b.      Akad fasihah, yaitu akad-akad yang cacat atau cederah karena kurang salah satu syarat-syaratnya, baik syarat umum maupun syarat khusus, seperti nikah tanpah wali.
4.      Berdasarkan sifat bendanya,benda akad terbagi dua, yaitu:
a.       Akad ‘aniyah,yaitu akad yang di syaratkan dengan penyerahan barang-barang seperti jual beli.
b.      Akad ghair ‘ainiyah,yaitu akad yang tidak di sertai dengan penyerahan barang-barang,karena tanpa penyerahan barang-barangpun akad sudah berasil,seperti akad amanah.
5.      Berdasarkan cara melakukannya, akad dibagi menjadi dua bagian, yaitu:
a.       Akad yang harus di laksanakan dengan upacara tertentu seperti akad pernikahan dini hari oleh dua saksi, wali, dan petugas pencatat nikah;
b.      Akad ridha’iyah,yaitu akad-akad tanpa upacara tertentu dan terjadi karena keridhaan dua belah pihak,seperti akd pada umumnya.
6.      Berdasarkan berlaku dan tidaknya akad, akad menjadi dua bagian yaitu:
a.       Akad nafidzah yaitu akad yang bebas atau terlepas dari penghalang-penghalang akad;
b.      Akad mauqufah yaitu akad-akad yang bertalian dengan persetujuan, seperti akad fuduhli (akad yang berlaku setelah di setujuih pemilik harta).
7.      Berdasarkan luzum dan dapat di batalkannya, dari segi ini akad dapat dibagi 4, yaitu:
a.       Akad lazim yang menjadi hak kedua belah pihak yang tidak dapat dipindahkan, seperti akad kawin, manfaat perkawinan tidak bisa di pindahkan kepada orang lain, seperti bersetubuh, tapi akad nikah dapat diakhiri dengan cara yang dibenarkan syara’, seperti talak dan khulu’ ;
b.      Akad lazim yang menjadi hak kedua belah pihak, dapat dipindahkan dan dirusakkan, seperti persetujuan jual beli dan akad-akad lainnya;
c.       Akad lazim yang menjadi hak salah satu pihak, seperti rahn, orang yang menggadai sesuatu benda punya kebebasan kapan saja ia akan melepaskan rahn atau menembus kembali barangnya;
d.      Akad lazim yang menjadi hak dua belah pihak tanpa menunggu persetujuan salah satu pihak, seperti titipan boleh diminta oleh yang menitipkan tanpa menunggu persetujuan yang menerima titipan atau yang menerima titipan boleh mengembalikan barang yang dititipkan kepada yang menitipkan tanpa menunggu persetujuan dari yang nenitipkan.


8.      Berdasarkan tukar-menukar hak, akad dibagi 3 bagian, yaitu:
a.       Akad mu’awadlah, yaitu akad yang berlaku atas dasar timbal balik seperti jual beli;
b.      Akad tabarru’at, yaitu akad-akad yang berlaku atas dasar pemberian dan pertolongan, seperti hibah;
c.       Akad yang tabaru’at pada awalnya dan menjadi akad mu’awadhah pada akhirnya, seperti qaradh dan kafalh.
9.      Berdasarkan harus dibayar ganti dan tidaknya, dapat dibagi menjadi 2 bagian, yaitu:
a.       Akad dhaman, akad yang menjadi tanggung jawab pihak kedua sesudah benda-benda itu diterima, seperti qaradh;
b.      Akad amanah, yaitu tanggung jawab kerusakan oleh pemilik benda, bukan oleh yang memegang barang , seperti titipan (ida’);
c.       Akad yang di pengaruhi oleh beberapa unsur, salah satu segi merupakan dhaman,menurut segi yang lain merupakan amanah seperti rahn (gadai).
10.  Berdasarkan tujuan akad, maka akad dapat dibagi menjadi lima golongan,yaitu;
a.       Bertujuan tamlik,seperti jual beli;
b.      Bertujuan untuk mengadakan usaha bersama (perkongsian) seperti syirkah dan mudharabah;
c.       Bertujuan tautsiq (memperkokoh kepercayaan) saja, seperti rahn dan kafalah;
d.      Bertujuan menyerahkan kekuasaan, seperti wakalah dan washiyah;
e.       Bertujuan mengadakan pemeliharaan, seperti ida’ atau titipan.
11.  Berdasarkan faur dan istimar, akad dibagi menjadi dua bagian, yaitu:
a.       Akad fauriah yaitu akad-akad yang dalam pelaksanaannya tidak memerlukan waktu yang lama, pelaksanaan akad hanya sebentar saja, seperti jual beli;
b.      Akad istimar disebut pula akad zamaniyah, yaitu hukum akad terus berjalan, seperti arah.
12.  Berdasarkan asliyah dan thabi’iyah, akad dibagi menjadi 2 bagian, yaitu;
a.       Akad asliyah yaitu akad yang berdiri sendiri tanpa memerlukan adanya sesuatu dari yang lain, seperti jual beli dan i’arah;
b.      Akad thahiyah yaitu akad yang membutuhkan adanya yang lain, seperti adanya rahn (gadai) tidak dilakukan bila tidak ada hutang.

 Macam-macam akad selain diatas yaitu sebagai berikut:[8]
a.       Akad dan Iltizam
Iltizam adalah setiap tasharruf yang memunculkan hak, memindahkannya,merevisinya, atau mengakhirinya, baik muncul dari satu orang seperti wakaf, ibra’, dan talak tanpa kompensasi harta, maupun dari dua orang seperti jual beli, sewa-menyewa, dan talak yang mengandung kompensasi harta. Akad terbatas pada jenis iltizam tertentu, yaitu iltizam yang muncul dari dua orang seperti jual beli, sewaa-menyewa, rahn, dan sebagainya. Sementara iltizam mencakup sesuatu yang muncul dari satu orang seperti wakaf, nadzar, sumpah dan sebagainya. Ilzam ialah pengaruh yang umum bagi setiap akad.  Ada juga yang menyatakan bahwa ilzam ialah ketidakmungkinan bagi yang melakukan akad untuk mencabutakadnya secara sepihak tanpa persetujuan pihak yang lain.
b.      Akad dan tasharruf
Tasharruf itu ada dua macam: bersifat perbuatan dan perkataan. Tasharruf yang bersifat perbuatan adalah realitas materi (tampak nyata) yang muncul dari seseorang seperti merampas, merusak, mengambil utang, menerima barang , dan sebagainya. Sementara tasharruf yang bersifat perkataan ada dua macam: bersifat akad dan non-akad. Yang bersifat akad adalah kesepakatan antara dua kehendak seperti syirkah dan jual beli. Sementara yang non-akad terkadang hanya berupa pemberitaan tentang hak seperti klaimdan pengakuan, dan terkadang dimaksudkan untuk memunculkan sebuah hak atau mengakhirinya seperti wakaf, talak, dan ibra’.
c.       Akad dan Kehendak Sendiri
Terkadang satu kehendak bisa secara mandiri menciptakan sebuah iltizam. Iltizam dengan satu kehendak maksudnya adalah komitmen tentang sesuatu dimana orang yang berkomitmen menjadi berutang kepada pihak lain dan pihak lain tersebut tidak ada ketika komitmen tersebut terjadi, seperti janji untuk memberi penghargaan atau hadiah untuk para pemuncak diantara orang-orang yang berhasil lulus disebuah sekolah, atau untuk orang yang berhasil menemukan obat bagi penyakit tertentu misalnya:
1.      Ji’alah
Ji’alah adalah komitmen (janji) akan memberikan ju’l atau upah tertentu untuk seseorang yang melakukan sebuah pekerjaan tanpa ada batasan masa tertentu. Ini adalah hal yang bersifat ja’iz (boleh) tetapi tidak lazim (mengikat) seperti memberikan upah bagi orang yang bisa menemukan yang hilang, bersedia membangun sebuah dinding, menggali sumur sampai menemukan air, lulus dalam ujian dengan nilai memuaskan. Ji’alah ini dibolehkan oleh jumhur fuqaha dari kalangan Malikiyah, Syafi’iyyah, dan Hanabilah, berdasarkan kisah Nabi Yusuf a.s. bersama saudara-saudaranya.
(#qä9$s% ßÉ)øÿtR tí#uqß¹ Å7Î=yJø9$# `yJÏ9ur uä!%y` ¾ÏmÎ/ ã@÷H¿q 9ŽÏèt/ O$tRr&ur ¾ÏmÎ/ ÒOŠÏãy ÇÐËÈ 
“Mereka menjawab, ‘Kami kehilangan piala raja, dan siapa yang dapatmengembalikannnya akan memperoleh (bahan makanan seberat beban unta, dan aku jamin itu.” (Yusuf:72)
Kalangan Hanafiyah tidak membolehkan ji’alah karena ia mengandung unsur gharar (ketidakjelasan) dan bahaya, artinya ada unsur ketidakjelasan dan berbagai kemungkinan yang tidak pasti baik terhadap pihak yang menyatakan iltizam-nya, maupun pihak yang akan melakukan perbuatan yang diminta tersebut, karena ia tidak tahu secara pasti kerja seperti apa yang dibutuhkannya untuk menjelaskan perbuatan itu.
2.      Wakaf
Wakaf terjadi dengan keinginan al-waqif (pihak yang berwakaf) saja. Jika wakaf itu untuk seseorang, ia berhak untuk menolaknya kemudian wakaf tersebut dialokasikasikan untuk lembaga-lembaga sosial yang ditentukan oleh al-waqif.
3.      Ibra’
Ibra’ adalah pengguguran seseorang terhadap haknya pada orang lain, seperti seorang da’in (orang yang memiliki piutang) menggugurkan utangnya yang ada dalam dzimmah madin (orang yang berutang). Ibra’ tidak membutuhkan penerimaan dari pihak madin, namun ia akan bertolak jika si madin menolaknya di majelis ibra’.[9]
4.      Wasiat
Wasiat adalah tamlik (memberikan kepemilikan) yang diproyeksikan pada waktu setelah meninggal secara sukarela baik objek yang diberikan kepemilikan itu adalah benda maupun manfaat, seperti berwasiat sejumlah harta atau pemanfaatan rumah untuk si fulan atau untuk lembaga soosial setelah wafatnya al-mushi (pihak yang mewasiatkan). Jadi, wasiat merupakan akad yang terjadi dengan satu kehendak yaitu kehendak al-mushi saja, namun menurut Hanafiyah ia tidak berlaku jika terjadid penolakan karena pihak al-mushi tidak berhak untuk memaksa seseorang menerima wasiatnya.
Para fuqaha sepakat, wasiat termasuk akad yang bersifat ja’iz dan tidak lazim (mengikat). Artinya, seseorang al-mushi berhak untuk menarik kembali apa saja yang diwasiatkannya.
5.      Yamin (sumpah)
Yamin adalah akad yang menguatkan tekad seorang yang bersumpah (al-halif) untuk melakukan atau meninggalkan sesuatu, seperti kalimat, “Demi Allah, saya akan memuliakan tetangga saya,” atau “Saya akan mengajarkan anak yatim ini dengan biaya pribadi saya.”Dengan kalimat tersebut, apa yang ditekadkannya menjadi utang dan wajib baginya melaksanakan sumpahnya. Jika tidak ia laksanakan, maka ia dianggap melanggar sumpah dan wajib membayar kaffarah sumpah.
6.      Kafalah
Menurut selain Hanafiyah, kafalah adalah menggabungkan dzimmah penjamin dengan dzimmah orang yangf dijamin dalam menunaikan sebuah hak, maksudnya adalah dalam masalah utang, sehingga utang itu menjadi tanggungan keduanya sekaligus.
Terjadinya kafalah cukup dengan adanya iltizam dari kafil untuk menunaikan utang dari ia ridha untuk menunaikannya. Ini adalah pendapat Malikiyah, Syafi’iyyah, Hanabilah, dan Abu Yusuf dari kalangan Hanafiyyah. Jadi, rukun kafalah hanya ijab, sementara qabul dari pihak da’in ataupun madin tidak menjadi rukun menurut mereka. Dengan demikian, kafalah adalah iltizam dari satu pihak. Sementara itu, Abu Hanifah dan Muhammad ibnul Hasan berpendapat bahwa rukun kafalah adalah ijab dari kafil dan qabul dari da’in.
d.      Akad denga Satu Keinginan
Prinsip umum dalam akad adalah pengakad atau pihak yang berakad itu lebih dari satu. Artinya, akad itu muncul dari ijab dan qabul yang menjadi wadah untuk mengungkapkan keinginan pihak-pihak yang berakad, karena akad akan memunculkan efek-efek yang bersifat kontradiktif dan hak-hak atau iltizamat yang saling berlawanan.
Akan tetapi, sebagai pengecualian dari prinsip dasar ini, sebagai fuqaha membolehkan adanya akad dengan satu pihak saja dalam beberapa kondisi dalam jual beli dan pernikahan.
1.      Jual beli dengan satu pengakad
Kalangan Hanafiyah selain Zufar membolehkan terjadinya jual beli dengan kehendak satu orang saja, namun memiliki dua sifat sekaligus; sebagai wakil dari penjual dan pembeli dalam saat yang sama. dan ini dalam kondisi-kondisi yang sangat jarang terjadi yaitu seorang bapak, washi (pihak yang diberi wasiat) atau kakek membeli harta anaknya yang masih kecil untuk dirinya, atau menjual hartanya dari sang anak, dan seorang hakim atau utusan yang melakukan jual belui mewakili dua pihak akad.
Kalangan Hanabilah membolehkan seorang pengakad melakukan akad atas nama dua pihak seperti halnya seorang wakil dari kedua pihak mengadakn akad jual beli dan akad-akad lainnya seperti sewa-menyewa misalnya. Karena hak-hak akad, efek dan iltizam-nya-menurut mereka-kembali kepada si muwakkil (pihak yang mewakilkan) yang memiliki kewenangan asli.
2.      Pernikahan dengan satu pengakad
Jumhur Hanafiyyah selain Zufar membolehkan seseorang untuk mewakili dua pihak dalam akad nikah dengan melakukan ijab yang sekaligus juga berposisi sebagai qabul dalam lima bentuk. Apabila orang tersebut wali dari kedua pihak, seperti seorang kakek menikahkan putri dari anaknya yang masih kecil dengan putra dari anaknya (yang lain) yang masih kecil.
Imam asy-Syafi’i berkata, “Nikah boleh dilakukan dengan satu pengakad apabila ia menjadi wali darikedua belah pihak, tetapi hanya dalm kondisi jika ia seorang kakek. Kakek berhak menikahkan kedua cucunya satu sama lain dan ia sendiri saja yang melakukan akad mewakili kedua belah pihak. Hal ini karena ada kebutuhan untuk itu ketika tidak ada wali lain yang setingkat dengannya dan pewaliannya lebih kuat serta rasa kasihnya lebih besar dibanding wali-wali yang lain.”
Ada perbedaan lain antar kedua hal tersebut dari segi hukum (artinya dampak yang ditimbulkan oleh akad) yaitu akad mesti ditunaikan oleh pengakad baik secara agama maupun secara hukum dengan kesepakatn para fuqaha, berdasarkan firman Allah SWT,
$ygƒr'¯»tƒ šúïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä (#qèù÷rr& ÏŠqà)ãèø9$$Î/ 4 ôM¯=Ïmé& Nä3s9 èpyJŠÍku5 ÉO»yè÷RF{$# žwÎ) $tB 4n=÷FムöNä3øn=tæ uŽöxî Ìj?ÏtèC ÏøŠ¢Á9$# öNçFRr&ur îPããm 3 ¨bÎ) ©!$# ãNä3øts $tB ߃̍ムÇÊÈ  
1. Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu[388]. Dihalalkan bagimu binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan kepadamu. (yang demikian itu) dengan tidak menghalalkan berburu ketika kamu sedang mengerjakan haji. Sesungguhnya Allah menetapkan hukum-hukum menurut yang dikehendaki-Nya.(QS. Al-Maa’idah:1)
e.       Akad dan Iltizam
Iltizam adalah setiap tasharruf yang memunculkan hak,memindahkannya, merevisinya, atau mengakhirinya, baik muncul dari satu orang seperti wakaf, ibra’, dan talak tanpa kompensasi harta, maupun dari dua orang seperti jual beli, sewa-menyewa, dan talak yang mengandung kompensasi harta. Akad terbatas pada jenis iltizam tertentu, yaitu iltizam yang muncul dari dua orang seperti jual beli, sewaa-menyewa, rahn, dan sebagainya. Sementara iltizam mencakup sesuatu yang muncul dari satu orang seperti wakaf, nadzar, sumpah dan sebagainya. Iltizam ialah keharusan mengerjakan sesuatu atau tidak mengerjakan sesuatu untuk kepentingan orang lain.
Kaitannya dengan fiqih muamalah, bahwa pengaruh adanya akad sudah pasti mempunyai dampak, baik bagi pihak pembeli maupun bagi pihak penjual, seperti mobil yang harganya mahal pasti akan berpengaruh kepada orang yang membeli, yaitu mempunyai kharisma yang lebih tinggi. Tetapi kalau yang dibeli barang biasa dan murah dampaknya kurang terlihat, baik bagi si pembeli maupun bagi penjual.
Para ulama fiqih mengemukakan bahwa akad itu dapat dibagi, dilihat dari beberapa segi keabsahannya menurut syara’ akad terbagi dua yaitu:
1.        Akad Sahih, ialah akad yang telah memenuhi rukun-rukun dan syaratnya. Hukum ini berlaku seluruh akibat hukum yang ditimbulkan akad itu dan mengikat kepada pihak-pihak yang berakad. Akad sahih ini dibagi lagi loe ulama Hanafiyah dan Malikiyah menjadi dua macam yaitu:
a.                     Akad yang nafiz (sempurna untuk dilaksanakan) yang sesuai rukun, syarat dan tidak ada penghalang untuk melaksanakannya.
b.                    Akad mawquf yaitu akad yang dilakukan pengetahuan hukum tetapi tidak memiliki kekuasaan untuk melaksanakan dan mengguanakannya.
2.        Akad yang tidak Sahih, yaitu akad yang memiliki kekurangan pada rukun dan syaratnya, sehingga seluruh akibat hukum akad itu tidak berpihak dan memikat pihak manapun. Ulama hanafiyah membagi dua macam yaitu akad yang batil dan fasid.

D.    Syarat- syarat akad.
Syarat terjadinya akad adalah sesuatu yang diisyaratkan untuk terjadinya akad secara syara. Jika tidak memenuhi hal itu maka akad batal. Terbagi atas dua yaitu umum yakni syarat-syarat yang harus ada dalam setiap akad. Dan khusus yakni syarat-syarat yang harus ada disebagian akad dan tidak diisyaratkan pada bagian-bagiian lainnya.
Adapun syarat terjadinya akad ada dua macam, sebagai berikut:
1.                Syarat-syarat yangbersifat umum, yaitu syarat yang wajib sempurna wujudnya dalam berbagai akad
a. Pihak-pihak yang melakukan akad ialah yang dipandang mampu bertindak menurut hukum (mukalaf). Apabila belum mampu, harus dilakukan oleh walinya.
b. Objek akad itu diketahui oleh syara’. Objek akad ini harus memenuhi syarat:
1)            Berbentuk harta,
2)                                                            Dimiliki seseorang, dan
3)                                                            Bernilai harta menurut syara’.
           c. Akad itu tidak dilarang oleh nash syara’.
           d. Akad yang dilakukan itu memenuhi syarat-syarat khusus dengan akad
          yang bersangkutan, disamping harus memenuhi syarat-syarat umum.
d. Akad itu bermanfaat.
e. Ijab tetap utuh sampaitaerjadi kabul.
2.                Syarat-syarat yang bersifat khusus, yaitu syarat yang wujudnya wajib ada dalam sebagian akad. Syarat khusus ini bisa juga disebut idhafi (tambahan) yang harus ada di samping syarat-syarat yang umum, seperti syarat adanya saksi dalam pernikahan.[10]
Syarat-syarat umum yang harus dipenuhi dalam berbagai macam akad, adalah sebagai berikut.
a.       Kedua orang yang melakukan akad cakap bertindak (ahli). Tidak sah akad orang yang tidak cakap bertindak, seperti orang gila, orang yang berada di bawah pengampunan (mahjur) karena boros atau yang lainnya.
b.      Objek akad dapat menerima hukumnya.
c.       Akad itu diizinkan oleh syara’, dilakukan oleh orang yang mempunyai hak melakukannya walaupun dia bukan aqad yang memiliki barang.
d.      Bukan akad yang dilarang oleh syara’, seperti jual beli mulasamah.
e.       Akad dapat memberikan aidah,sehingga tidaklah sah bila rahn dianggap sebagai imbangan amanah.
f.       Ijab itu berjalan terus, tidak dicabut sebelum terjadi kabul, maka bila orang yang berijab menarik kembali ijabnya sebelum kabul,maka batal ijabnya.
g.      Ijab dan kabul mesti bersambung, sehingga bila seseorang yang berijab sudah berpisah sebelum adanya kabul, maka ijab tersebut menjadi batal.

E. Cara membatalkan Akad (berakhirnya akad).
Suatu akad akan berakhir apabila apabila telah tercapai tujuan-tujuannya. Dalam akad jual beli misalnya, akad dipandang telah berakhir apabila barang telah berpindah milik kepada pembeli dan harganya telah menjadi milik penjual. Selain telah tercapai tujuannya, akad dipandang berakhir apabilaterjadi fasakh (pembatalan), atau telah berakhirnya waktu.
Fasakh terjadi dengan sebab-sebab sebagai berikut:
1.        Di-fasakhi (dibatalkan) disebabkan karena akad rusak, seperti barangnya rusak.
2.        Adanya khiyar, baik khiyar rukyat, syarat dan cacat atau majelis.
3.        Karena kewajiban yang ditimbulkan oleh adanya akad tidak dipenuhi oleh pihak bersangkutan.
4.        Karena habis waktuny dan karena kermatian.
5.        Karena tidak dapat izin dari pihak yang bersangkutan.
6.        Salah satu pihak yanng bersangkutan membatalkan karena merasa akad membatalkan.
7.        Karena sifatnya tidak mengikat.
8.        Apabila sifatnya mengikat maka bisa berakhir dengan cara jual beli itu fasad, akad tidak dilakukan oleh satu pihak, dan tercapainya akad itu sampai sempurna.
BAB III
PENUTUP

A.      Kesimpulan
Akad merupakan suatu ikatan dan kesepakatan antara dua orang atau lebih untuk melakukan suatu perjanjian, dan tidak semua perjajian dikatakan sebagai akad karena akad memiliki suatu syarat tertentu untuk menjadikan dasaran akad yaitu dengan adanya ucapan “ijab qobul” sesuai dengan ketentuan syariat islam. Ijab qobul itu sendiri merupakan suatu ungkapan  atau kesepakatan dua orang ataupun lebih untuk melakukan kontrak. Suatu akad akan terpenuhi jika rukun itu sendiri terpenuhi dengan adanya akid (orang yang berakad) dan Ma’qud Alaih (suatu yang diakadkan).
Rukun akad secara terminologis menurut hanafiyah adalah sesuatu yang adanya sesuatu yang lain bergantung kepadaanya dan ia merupakan bagian dari hakikat sesuatu tersebut. Dalam muamalah ijab dan qobul atau menggantikan posisi keduanya adalah rukun akad. Jadi rukun akad adalah segala sesuatu yang mengungkapkan kesepakatan dua kehendak atau yang menggantikan posisinya baik berupa perbuatan, isyarat maupun tulisan. Ada 3 rukunnya yaitu: aqid (pengakad), ma’qud alaih (objek yang diakadkan), dan shignat (diakadkan).
Suatu akad akan berakhir apabila apabila telah tercapai tujuan-tujuannya. Dalam akad jual beli misalnya, akad dipandang telah berakhir apabila barang telah berpindah milik kepada pembeli dan harganya telah menjadi milik penjual.

B.          SARAN
Demikianlah yang dapat saya sampaikan, tentunya banyak kekurangan dan kelemahan karena terbatasnya pengetahuan. Semoga dapat bermanfaat bagi pembaca apabila ada saran maupun kritik yang ingin disampaikan pada saya silahkan sampaikan kepada saya. Apabila ada kesalahan saya mohon maaf dan dimaklumi, karena saya adalah manusia dan hamba Allah yang tidak luput dari kekurangan maupun kesalahan.






DAFTAR PUSTAKA

Mardani, 2012. Fiqih Ekonomi Syariah.Jakarta: Prenada Media Group. 

Sahrani Sohari, Ru’fah Abdullah, 2001.  Fiqih Muamallah, Bogor: Ghalia Indonesia.
Az-zuhaili Wahbah.2011, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, Jakarta: Gema Insani.

Hendi Suhendi, 1997,Fiqih Muamalah, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

ash Shiddieqy Teungku Muhammad Hasbi,2001 Pengantar FiqihMuamalah. Semarang: PT  Pustaka Rizki Putra.
Dkk,Abdul Rahman Ghazaly,2010, Fiqih Muamalat. Jakarta: Penada Media Group, 2010

Abduliah al-Mushlih,2004 Fiqih Ekonomi Keuangan Islam,Jakarta: Darul Haq.







[1]Sohari Sahrani, Ru’fah Abdullah, Fiqih Muamallah, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2011), cet 1,hlm, 42
[2]Abdul Rahman Ghazaly.dkk,Fiqih Muamalat.(Jakarta: Penada Media Group, 2010), hlm 50-58
[3]Mardani, fiqih Ekonomi Syariah.(Jakarta: Prenada Media Group),cet 1. hlm 91.

[4]Wahbah Az-zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, (Jakarta: Gema Insani,2011) terj, hlm 431
[5]Ibid hlm 444
[6]Hendi Suhendi, Fiqih Muamalah,(Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1997), hlm.41-47
[7] Ibid hlm 56
[8]Teungku Muhammad Hasbi ASH Shiddieqy, Pengantar Fiqih Muamalah.(Semarang: PT Pustaka Rizki Putra, 2001), hlm 93
[9] Ibid hlm 108
[10]Abduliah al-Mushlih, Fiqih Ekonomi Keuangan Islam, (Jakarta: Darul Haq, 2004), hlm 26-30

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Proses Perencanaan.

syirkah, ijarah, dan ariyah