Jual Beli dan Gadai



MAKALAH FIQIH
TENTANG JUAL BELI DAN GADAI
D
I
S
U
S
U
N
OLEH:
NAMA          : Ade Sri Wulan Pane                            
NIM              : 1530100006            
SEM/JUR     : KPI/ V(LIMA)

Dosen pengampuh:
Zilfaroni, S.Sos.I.,M.A

FAKULTAS DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
PADANGSIDIMPUAN
T.A. 2017/2018

KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Warahmatullah Wabarakatu...
 Puji syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayahnya sehingga saya dapat menyelesaikan tugas makalah  ini dengan judul “Jual Beli dan Gadai ”,serta tak lupa pula saya haturkan shalawat serta salam kepada junjungan Nabi kita Muhammad SAW yang telah membawa kita dari zaman jahilia, dari zaman kebodohan menuju zaman yang sekarang ini yakni zaman yang penuh dengan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Makalah ini di persiapkan dan di susun untuk memenuhi tugas kuliah serta menambah wawasan dan ilmu pengetahuan, di dalam makalah ini saya menyadari bahwa penulisanya masih sangat sederhana dan jauh dari kesempurnaan. Namun, besar harapan saya semoga makalah yang disusun ini bisa bermanfaat. Saya selaku penulis makalah ini dapat terselesaikan atas usaha keras saya dan bantuan rekan-rekan dalam diskusi untuk mengisi kekuranganya.
Dalam pembuatan makalah ini saya sangat menyadari bahwa baik dalam penyampaian maupun penulisan masih banyak kekurangannya untuk itu saran dan kritik dari berbagai pihak sangat saya harapkan untuk penunjang dalam pembuatan makalah saya berikutnya.
 Wassalamualaikum Warahmatullah Wabarakatuh...



   Padangsidimpuan, 09 September 2017

     Penulis







DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.......................................................................................................  i
DAFTAR ISI......................................................................................................................  ii
BAB I PENDAHULUAN...................................................................................................  1
         A. Latar Belakang...................................................................................................... 1
         B. Rumusan Masalah................................................................................................. 2
         C. Tujuan....................................................................................................................  2
BAB II PEMBAHASAN.....................................................................................................  3
        A. Pengertian Jual Beli dan Gadai.............................................................................  3
        B. Rukun Jual Beli dan Gadai....................................................................................  4
        C. Syarat Jual Beli dan Gadai....................................................................................  4
        D. Unsur Jual beli dan Gadai....................................................................................   5
        E. Macam-macam Jual beli dan Gadai.....................................................................   5
        F. Hukum Jual beli dan Gadai...................................................................................   6
       G. Khiyar Jual beli dan Gadai....................................................................................  14
       H. Persyaratan Jual beli dan Gadai............................................................................ 16
BAB III PENUTUP..............................................................................................................  17
   A. Kesimpulan.............................................................................................................  17
   B. Saran........................................................................................................................  17
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................................ 18

BAB 1
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Pada saat ini jual beli dan gadai adalah hal yang lumrah dalam kehidupan sehari-hari namun pada kenyatannya masih banyak orang yang belum mengetahui hukum gadai dalam Islam. Tuntutan hidup yang semakin keras membuat banyak orang memilih mendapatkan uang dengan cepat meski tidak mengetahui hukum-hukumnya dalam islam. Oleh karena itu penulis tertarik untuk menelaah lebih lanjut mengenai hukum gadai dalam islam.


B.     RUMUSAN MASALAH
Dari uraikan latar belakang diatas dapat ditarik beberapa rumusan masalah, sebagai berikut:
1. Apa pengertian Jual beli dan Gadai?
2. Apa saja syarat, rukun, dan hukum jual beli dan gadai?

C.    TUJUAN
Sesuai dengan rumusan masalah diatas, penulisan ini bertujuan untuk menginformasikan dan menjelaskan tentang jual beli dan gadai berdasarkan ajaran Islam dalam panduan Fiqih Muamalah serta menjelaskan rumusan masalah diatas. Secara khusus makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Manajemen serta menginformasikan wawasan dan pengetahuan ke teman-teman jurusan kpi semester lima.


BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Jual Beli dan Gadai
a)        Jual beli.
Jual beli adalah tukar menukar suatu barang dengan barang lain dengan cara tertentu (akad). Sesuai dengan firman Allah dalam QS. Al-baqarah:275.
šúïÏ%©!$# tbqè=à2ù'tƒ (#4qt/Ìh9$# Ÿw tbqãBqà)tƒ žwÎ) $yJx. ãPqà)tƒ Ï%©!$# çmäܬ6ytFtƒ ß`»sÜø¤±9$# z`ÏB Äb§yJø9$# 4 y7Ï9ºsŒ öNßg¯Rr'Î/ (#þqä9$s% $yJ¯RÎ) ßìøt7ø9$# ã@÷WÏB (#4qt/Ìh9$# 3 ¨@ymr&ur ª!$# yìøt7ø9$# tP§ymur (#4qt/Ìh9$# 4 `yJsù ¼çnuä!%y` ×psàÏãöqtB `ÏiB ¾ÏmÎn/§ 4ygtFR$$sù ¼ã&s#sù $tB y#n=y ÿ¼çnãøBr&ur n<Î) «!$# ( ïÆtBur yŠ$tã y7Í´¯»s9'ré'sù Ü=»ysô¹r& Í$¨Z9$# ( öNèd $pkŽÏù šcrà$Î#»yz ÇËÐÎÈ  
275. Orang-orang yang Makan (mengambil) riba[174] tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila[175]. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), Maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu[176] (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. orang yang kembali (mengambil riba), Maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.

Jual beli atau perdangangan dalam istilah fiqih disebut al-ba’i yang menurut etimologi berarti menjual atau mengganti. Wahbah al-Zuhaily mengartikan secara bahasa dengan “menukar sesuatu dengan sesuatu yang lain”. Kata al-ba’i dalam Arab terkadang digunakan untuk pengertian lawannya, yaitu kata al-syira’ (beli). Dengan demikian, kata al-ba’i berarti jual, tetapi sekaligus juga berarti beli. Secara terminologis terdapat beberapa definisi jual beli yang dikemukakan para ulama fiqih, meskipun substansi dan tujuan masing-masing sama. Sayyid Sabiq “Jual beli ialah pertukaran harta dengan harta lainatas dasar saling merelakan”, atau “memindahkan milik dengan ganti yang dapat dibenarkan.”
Ulama Hanafiyah adalah melalui ijab dan kabul atau juga boleh melalui ijab kabul atau juga boleh saling memberikan barang dan harga dari penjual dan pembeli.
Menurut Ibn Qudamah yaitu “Saling bertukar harta dengan harta dalam bentuk pemindahan milik dan pemilikan.”
Menurut Ulama Malikiyah adalah jual beli ada dua macam, yaitu jual beli yang bersifat khusus dan jual beli bersifat umum. 1. menurut arti umum jual beli adalah suatu perikatan (akad dari kedua pihak) tukar-menukar sesuatu yang bukan kemanfaatan dan kenikmatan. 2. Menurut arti khusus ialah ikatan tukar menukar sesuatu yang bukan kemanfaatan dan bukan pula kelezatan yang mempunyai daya tarik, barangnya yang sudah diketahui sifat-sifatnya maupun yang terlebi dahulu.

b)        Gadai
Secara etimologi gadai bersasal dari bahasa arab yaitu ar-rahn yang berarti tetap, kekal, dan jaminan. Secara istilah ar-rahn disebut dengan barang jaminan, dalam Islam yaitu sarana tolong menolong bagi umat Islam tanpa ada imbalan jasa.
@ä. ¤§øÿtR $yJÎ/ ôMt6|¡x. îpoYÏdu ÇÌÑÈ  
“Tiap-tiap jiwa tertahan (untuk mempertanggungjawabkan) atas apa yang telah diperbuatnya (QS. Al-Muddatstsir [74]: 38).
Atau bermakna “diam tidak bergerak”, sebagaimana dikatakan para ahli fiqh:
“Haram bagai seseorang kencing di air yang rahin, yaitu air yang tidak bergerak”

Makna gadai menurut istilah ahli fiqh adalah “barang yang dijadikan sebagai jaminan hutang apabila tidak dapat melunasinya”. (Lihat Fathul Bari 5/173, al-Mughni 6/443, Aunul Ma;bud 9-10 / 319).
Ada beberapa definisi ar-rahn menurut para ulama fiqih yaitu:
Ulama Malikiyah mendefinisikan bahwa harta yang dijadikan pemiliknya sebagai jaminan hutang yang bersifat mengikat. Dan jika gadai itu karena hutang  perdadangan maka itu diperbolehkan, namun jika gadai itu karena pinjaman maka hal itu tidak boleh karena ia menjadi pinjaman yang mendatangkan manfaat.
Ulama Hanafiyah medefinisikan bahwa menjadikan suatu barang menjadi jaminan terhadap hak (piutang) yang mungkin dijadikan sebagai pembayar hak (piutang) baik seluruh maupun sebagian. Dan tidak boleh agi pemengang barang gadai memanfaatkan barang gadaian dengan memakai, mengendarai, menempati, dan memakai, kecuali dengan izin pengadai.
Ulama Syafi’yah dan Hanabilah mendefinisikan ar-rahn bahwa barang yang boleh dijadikan hutang itu adalah yang bersifat materi.
Para ulama fiqih berpendapat bahwa gadai boleh dilakukan dalam perjalanan dan dalam keadaaan hadir ditempat , asal barang, jaminan, itu bisa langsung dipegang/dikuasai secara hukum bagi piutang. Maksudnya tidak semua barang jaminan bisa dipegang/dikuasai bagi sipembeli piutang secara langsung.
Para ulama fiqih mengemukakan bahwa akad ar-rahn dibolehkan dalam Islam berdasarkan al-Qur’an dan sunnah Rasul. Dalam surah al-baqarah: 283.
* bÎ)ur óOçFZä. 4n?tã 9xÿy öNs9ur (#rßÉfs? $Y6Ï?%x. Ö`»yd̍sù ×p|Êqç7ø)¨B ( ÷bÎ*sù z`ÏBr& Nä3àÒ÷èt/ $VÒ÷èt/ ÏjŠxsãù=sù Ï%©!$# z`ÏJè?øt$# ¼çmtFuZ»tBr& È,­Guø9ur ©!$# ¼çm­/u 3 Ÿwur (#qßJçGõ3s? noy»yg¤±9$# 4 `tBur $ygôJçGò6tƒ ÿ¼çm¯RÎ*sù ÖNÏO#uä ¼çmç6ù=s% 3 ª!$#ur $yJÎ/ tbqè=yJ÷ès? ÒOŠÎ=tæ ÇËÑÌÈ    
283. Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, Maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang[180] (oleh yang berpiutang). akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, Maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya; dan janganlah kamu (para saksi) Menyembunyikan persaksian. dan Barangsiapa yang menyembunyikannya, Maka Sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.

B. Rukun Jual Beli dan Gadai.
a)        Rukun Jual Beli.
1.    Penjual dan pembeli
2.    Ada shighat (lafazijab dan kabul).
3.    Ada barang yang dibeli.
4.    Ada nilai tukar pengganti barang.
b)    Rukun Gadai.
1.    Akad dan ijab kabul
2.    Aqid
Menurut Syafi’iyah ahliyah adalah orang yang telah sah untuk jual beli yakni berakal dan mumayyis tetapi tidak diisyaratkan harus baliqh.
3. Waktu gadai.
4. Barang yang telah dijadikan jaminan tidak rusak.
Rasul bersabda: “Setiap barang boleh diperjual belikan boleh dijadikan barang gadai.”
5. Ada hutang, diisyaratkan keadaan hutang telah tetap.

C.  Syarat Jual Beli dan Gadai.
a)   Syarat Jual Beli.
1. Berakal.
2. Orang melakukan akad berbeda.
 3. Menjual dan membeli tidak dipaksa.
Sesuai dengan firman Allah dalam surah An.Nisa:29
4. Tidak mubajir (pemboros), sebab harta bagi orang mubajir pada walinya.
Sesuai dengan firman Allah dalam surah An.Nisa:5.
5. Baliq
6. Barangnya Suci.
7. Ada manfaatnya.
Sesuai dengan firman Allah dalam surah Al-Isra 27.
8. Barang itu dapat diserahkan.
Dari Abu Hurairah, ia berkata, “Nabi SAW  telah melarang memperjual belikan barang yang mengandung tipu daya.
9. Barang tersebut merupakan kepunyaan dari penjual.
Sabda Rasulullah: “tidak sah jual beli selain mengenai barang yang dimiliki.” (Abu Dawud dan Tarmizi).
10. Barang tersebut telah diketahui oleh sang pembeli dan penjual.
Menurut syarat jual beli banyak para ulama fiqih berbeda pendapat: sebagai berikut:
1.  Menurut ulama Syafi’iyah ijab kabul adalah “Tidak sah akad jual beli kecuali dengan shigat (ijab kabul) yang diucapkan)”.
2.   Imam Malik berpendapat: “Bahwa jual beli itu tidak sah dan dapat dilakukan secara dipahami saja”.
3.  Pendapat ketiga ialah penyampaian akad dengan perbuatan disebut dengan aqad bi al-mu’athah yaitu mengambil dan memberikan dengan tanpa perkataan (ijab dan kabul).
b). Syarat  Gadai.
Menurut ulama Hanafiyah mengisyaratkan antara lain:
1. Dapat diperjual belikan.
2. Bermanfaat
3. Jelas barangnya.
4. Milik aqid.
5. Bisa diserah terima.
6. Tidak bersatu dengan harta lain.
7. Dipegang oleh rahin.
8. Harta tetap.
Menurut Sayyid Sabiq  mengisyaratkan antara lain:
1. Orangnya sudah dewasa.
2. Berpikiran sehat.
3. Barang dapat dijadikan jaminan.

D. Unsur Jual beli dan Gadai.
a). Unsur dari Jual Beli yaitu:
1. Al- ‘Aqid: orang yang melakukan transaksi/penjual/pembeli.
2. Al- ‘Aqd: transaksi.
3. Al- ‘Ma’qud ‘Alaihi: objek transaksi mencakup barang maupun uang.

b). Gadai secara syariah ini memiliki beberapa unsur:
1.  Ar-Rahin: orang yang menggadaikan barang atau meminjam uang dengan jaminan barang
2. Al-Murtahin: orang yang menerima barang yang digadaikan atau yang meminjamkan uangnya.
3.  Al-Marhun/ Ar-Rahn: barang yang digadaikan atau dipinjamkan
4.  Al-Marhun bihi: uang dipinjamkan lantaran ada barang yang digadaikan

E. Macam-macam Jual Beli dan Gadai
a). Jual Beli.
Jual beli dapat ditinjau dari beberapa segi. Ditinjau dari segi hukumnya, jual beli ada dua macam yaitu jual beli yang sah menurut hukum dan batal menurut hukum, dari segi objek jual beli dan segi pelaku jual beli. Ditinjau dari segi benda yang dijadikan objek jual beli dapat dikemukan pendapat Imam Taqiyuddin bahwa jual beli dibagi menjadi tiga bentuk: 1) Jual beli benda yang kelihatan,
2) Jual beli yang disebutkan sifat-sifatnya dalam janji,
3) Jual beli benda yang tidak ada.
Rasulullah Saw bersabda: “Sesungguhnya Nabi Saw, melarang perjualan anggur sebelum hitam dan dilarang penjualan biji-bijian sebelum mengeras”.[1]

b). Gadai.
Gadai jika dilihat dari sah tidaknya akad terbagi atas dua yaitu gadai shahih dan gadai fasid sebagai berikut:
1). Rahn Shahih/lazim: gadai yang benar karena terpenuhi syarat dan rukunya.
2). Rahn Fasid: akad gadai yang tidak terpenuhi rukun dan syaratnya.

F.  Hukum jual beli dan Gadai.
a). Jual Beli
Hukum jual beli adalah mubah (boleh), akan tetapi pada situasi-situasi tetentu menurut Imam al-Syathibi, hukumnya boleh berubah menjadi wajib. Ada beberapa kondisi yang melarang jual beli dan hukumnya batal sebagai berikut:
1.        Barang yang dihukumkan najis oleh agama, seperti anjing, babi, berhala, bangkai, dan khamar.
“Dari Jahir r.a, Rasulullah Saw bersabda, sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya telah mengharamkan menjual arak, bangkai, babi, dan berhala. (riwayat Bukhari dan Muslim). 
2.        Jual beli sprema (mani) hewan, seperti mengawanikan seekor domba jantan dengan betina agar dapat memperoleh keturunannya. Jual beli hukumnya haram karena Rasulullah Saw, bersabda: “Dari Ibnu Umar r.a berkata; Rasulullah Saw telah melarang menjual mani binatang”(Riwayat Bukhari).
3.        Jual beli anak binatang yang masih berada dalam perut induknya, karena barangnya belum ada dan tidak tampak.
        “Dari Ibnu Umar r.a berkata; Rasulullah Saw bersabda: telah melarang penjualan sesuatu yang masih dalam kandungan induknya”(Riwayat Bukhari dan Muslim).[2]
4.        Jual beli dengan muhaqallah (tanaman-tanaman yang masih diladang), karena mengandung riba didalamnya.
5.        Jual beli dengan mukhadharah disebut menjual buah-buahan yang belum layak dijual.
6.        Jual beli dengan muammassah yaitu jual beli secara sentuh menyentuh misalnya seseorag yang menyentuh kain maka orang itu telah memiliki kain tersebut, ini dilarang karena mengandung unsur mistik ataupun tipuan.
7.        Jual beli dengan munabadzah yaitu jual beli secara lempar melempar misalnya seseorang  berkata “lemparkan kepadaku apa yang ada padamu, nanti akan dilemparkan kepadamu apa yang ada padaku.
8.        Jual beli dengan muzabanah yaitu menjual buah yang basah dengan buah yang kering seperti menjual padi kering dengan bayaran padi basah.
       “Dari Anas r.a, ia berkata Rasulullah Saw bersabda
9.        Menentukan dua harga untuk satu barang yang diperjual belikan.
Menurut Syafi’i mengadung dua arti yaitu: 1)kujual buku ini sebesar $10 dengan tunai atau $15 dengan utang, 2) “Aku jual buku ini kepadamu dengan syarat kamu harus menjual tasmu padaku. Maka dari kedua itu disebut Riba.
10.    Jual beli dengan syarat (iwadh mahjul), sama saja dengan jual dengan dua harga.
11.    Jual beli gharat yaitu jual beli dengan samar sehingga ada kemungkinan ada penipuan.
12.    Jual beli dengan mengecualikan barang yang lain dilarang apabila yang dikecualikannya tidak jelas.
13.    Jual beli dengan menjual makanan dengan dua kali takar. Karena tidak ada kepercayaan kedua pihak.

 Ada beberapa macam jual beli yang dilarang agama tapi sah didepan hukum yaitu:
14.    Menjual barang dengan menipu harga modalnya kepada orang lain.
15.    Menawar barang yang sedang ditawar orang lain.
16.    Jual beli dengan najasyi ialah seseorang menambah atau melebihi harga temannya dengan maksud memancing-mancing orang agar orang itu mw membeli barang kawannya.
17.    Menjual diatas penjual orang lain.[3]

b). Gadai
Hukum jual beli adalah mubah (boleh), akan tetapi pada situasi-situasi tetentu menurut Imam al-Syathibi, hukumnya boleh berubah menjadi wajib.

b). Hukum gadai.
Hukum gadai dalam islam para ulama bersepakat, hukum gadai secara umum diperbolehkan. Ini didasari beberapa dalil, di antaranya:
  1. Dalil dari al-Qur’an
* bÎ)ur óOçFZä. 4n?tã 9xÿy öNs9ur (#rßÉfs? $Y6Ï?%x. Ö`»yd̍sù ×p|Êqç7ø)¨B ( ÷bÎ*sù z`ÏBr& Nä3àÒ÷èt/ $VÒ÷èt/ ÏjŠxsãù=sù Ï%©!$# z`ÏJè?øt$# ¼çmtFuZ»tBr& È,­Guø9ur ©!$# ¼çm­/u 3 Ÿwur (#qßJçGõ3s? noy»yg¤±9$# 4 `tBur $ygôJçGò6tƒ ÿ¼çm¯RÎ*sù ÖNÏO#uä ¼çmç6ù=s% 3 ª!$#ur $yJÎ/ tbqè=yJ÷ès? ÒOŠÎ=tæ ÇËÑÌÈ
Dan jika kamu dalam perjalanan (dan sedang bertransaksi tidak secara tunai), sedang kamu tidak mendapati penulis, maka hendaklah ada barang gadai (tanggungan) yang dipegang. (QS. Al-Baqarah [2] : 283)
2.   Dalil dari Sunnah
Dari Aisyah Radhiyallahu’anha bahwasanya Nabi Shollallahu ‘Alaihi Wasallam pernah membeli makanan dari seorang Yahudi, kemudian beliau menggadaikan perisai perangnya. (HR. Bukhari 3/73, 81, 101, 186, 187, Muslim 3 / 1226)
a. Dibolehkan ketika Safar dan tidak safar:
Dari dalil-dalil di atas, dan masih benyak lagi hadist-hadist lain, menunjukkan bolehnya pegadaian baik ketika bepergian / safar ataupun tidak dalam bepergian. Ibnul Mundzir mengatakan, “Aku tidak mengetahui seorang pun yang menyelisihi hal tersebut kecuali Mujahid saja yang mengatakan pegadaian hanya boleh ketika safar”. Adapun zhahir ayat yang disebutkan di atas (yaitu bolehnya pegadaian untuk orang yang bepergian / safar saja), maka penyebutan bepergian atau safar tersebut karena sering terjadi dan biasanya tidak dijumpai seorang penulis hutang adalah ketika safar, dan ini tidak meniadakan bolehnya pegadaian ketika tidak safar.
Bolehnya pegadaian ketika tidak safar dikuatkan pula oleh zhahir hadist Aisyah Radhiyallahu’anha yang mengatakan bahwa Rasulullah menggadaikan perisai perangnya ketika beliau sedang berada di Madinah ; ini menunjukkan Nabi melakukannya ketika tidak sedang safar. Dan boleh nya pegadaian ketika sedang safar dan tidak safar dikuatkan oleh makna gadai itu sendiri yang artinya adalah “barang yang dijadikan sebagai jaminan hutang”. Ini adalah isyarat inti dari pegadaian ialah untuk jaminan, sama saja ketika safar atau tidak safar (Lihat al-Mughni 6/444, Fathul Bari 5/173-174, al-Majmu’ 1/305, Bidayatul Mujtahid 2/271, al-Muhalla bil Atsar 6/362).
Barang gadai tersebut berada ditangan Murtahin selama masa perjanjian gadai tersebut, sebagaimana firman Allah:
“Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu’amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). [Al-Baqarah : 283]

Dan sabda beliau “Hewan yang dikendarai dinaiki apabila digadaikan. Dan susu (dari hewan) diminum apabila hewannya digadaikan. Wajib bagi yang mengendarainya dan yang minum, (untuk) memberi nafkahnya.” [Hadits Shohih riwayat Al Tirmidzi].
b. Barang yang dibolehkan untuk gadai
Segala sesuatu yang boleh diperjualbelikan maka boleh dijadikan barang gadai / jaminan, sehingga apa saja yang tidak boleh diperjualbelikan maka tidak boleh digadaikan. Hal ini dikarenakan maksud menggadaikan sesuatu adalah untuk jaminan apabila tidak dapat melunasi hutangnya, sehingga apabila penggadai (pemilik barang) tidak bisa melunasi hutangnya, maka barang tersebut bisa dijual untuk melunasi hutang tersebut, dan ini akan terwujud dengan barang yang bisa diperjualbelikan. ( ar-Raudhul Murbi’ Syarh Zadul Mustawni’, Manshur bin Yunus al- Bahuti, hal. 364)
Oleh karena itu, seandainya sesorang ingin meminjam uang kemudian menggadaikan anaknya, maka ini tidak diperbolehkan karena anak tidak boleh diperjualbelikan. Sebagaimana hadists yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, bahwasanya Rasulullah bersabda, “Ada tiga golongan yang dibantah oleh Alloh pada hari kiamat.” Diantara tiga golongan tersebut,
Rasulullah bersabda: Dan (Allah akan membantah) seorang yang menjual (orang) yang merdeka dan memakan hasil penjualannya. (HR. Bukhari 4/447 no. 2270)
Seandainya seseorang ingin meminjam uang dan menggadaikan hewan-hewan piaraan yang haram hukumnya seperti anjing dan babi, maka ini tidak diperbolehkan karena anjing dan babi tidak boleh diperjualbelikan lantaran barang yang haram tidak boleh diperjualbelikan. Hal ini didasari oleh sebuah hadist Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya Allah apabila mengharamkan sesuatu, pasti mengharamkan harga (jual belinya.”.
Seandainya seseorang menggadaikan sebuah rumah padahal rumah ini adalah rumah wakaf, maka penggadaian ini tidak sah karena sesuatu yang telah diwakafkan tidak boleh dijual. Sebagaimana hadist yang menjelaskan tentang hal itu, Rasulullah bersabda: “Tidak boleh dijual barang asal (yang diwakafkan) tidak boleh dihibahkan dan tidak boleh diwariskan.”
c. Pemengang Gadai, Pembiayaan, Pemeliharaan, Pemanfaatan Barang Gadai
Pada dasarnya, yang berhak memegang barang gadai adalah yang meminjami sesuatu kepada penggadai barang, karena barang gadai tersebut adalah sebagai jaminan hutang yang ia berikan kepada si peminjam. Dan ini (pemegangan barang) dilakukan oleh orang yang meminjami sesuatu kepada penggadai, apabila kedua pihak sama-sama rela dan merasa tsiqah/percaya satu sama lain. Akan tetapi, seandainya salah satu dari mereka merasa tidak aman dan tidak rela barangnya dipegang oleh orang yang meminjami sesuatu tadi, maka barang tersebut dipegang oleh pihak ketiga yang telah disepakati oleh kedua bealh pihak (peminjam yang menggadaikan barangnya dengan orang yang meminjami sesuatu tersebut). (asy-Syarhul Mumti’ ‘ala Zadil Mustaqni’ 9/82, dengan penyesuaian).
Kita bisa mengetahui bahwa barang yang digadaikan adalah sekedar jaminan hutang apabila tidak dapat melunasi hutangnya, dan barang gadai tidak harus menjadi pengganti hutang tersebut, sehingga tidak harus sama atau seimbang antara harga barang dengan jumlah hutangnya, bahkan boleh kurang atau lebih apabila kedua belah pihak rela (suka sama suka). Dan apabila orang yang berhutang tidak dapat melunasi hutangnya, maka pemegang barang gadai tersebut berhak menuntut pembayaran hutangnya dan boleh menahan barang tersebut sampai hutangnya dibayar, karena barang tersebut berstatus milik penggadai barang. (Lihat al-Mabsuth 21/63, al-Bada’i 6/145)
Jumhur (mayoritas) ulama, begitu pula semua imam madzhab empat kecuali madzhab Hanbali bersepakat bahwa barang yang sedang digadaikan tidak boleh dimanfaatkan oleh pemegang barang kecuali dengan seizin pemilik barang. Hal ini disebabkan karena pemegang barang tidak memilikinya, bahkan barang tersebut sekedar amanah, sehingga tidak berhak memanfaatkannya. Hal ini didasari oleh Rasulullah bersabda: “Tidaklah halal harta seorang muslim kecuali dengan kerelaan dari (pemilik)nya.”
Seandainya pemegang barang terlanjur memanfaatkannya, serta menjual atau menyewakannya tanpa seizin pemiliknya, maka menurut Imam Syafi’i dan Imam Hanbali penjualan dan sewa-menyewa tersebut batal dan tidak sah. Adapun menurut Imam Hanafi dan Imam Malik, penjualan dan sewa menyewa tersebut hukumnya tergantung kepada pemilik barang, apabila ketika pemilik barang mengetahui kemudian menyetujui, maka sah penjualan atau sewa menyewa itu, apabila tidak maka batal dan tidak sah.
Pendapat terakhir inilah  (Imam Hanafi dan Imam Malik) yang kuat dengan dasar sebuah hadist yang dikeluarkan oleh Imam Bukhari, bahwasanya seorang sahabat bernama Urwah al-Bariqi Radhiyallahu’anhu pernah dititipi Rasulullah satu dinar untuk membeli satu ekor kambing qurban, lalu Urwah pergi ke pasar hewan membeli dua ekor kambing seharga satu dinar, kemudian sebelum kembali kepada Rasulullah  ia menjual satu ekor kambing seharga satu dinar, lalu datang kepada beliau membawa satu ekor kambing dan uang satu dinar, dan tatkala Rasulullah  mengetahuinya, beliau tidak mengingkarinya, bahkan Nabi menyetujui dan mendo’akan keberkahan buat Urwah.
Tidak boleh ditutup/ dihalangi barang yang digadaikan bagi pemiliknya yang menggadaikannya, keuntungan dan kerugian adalh haknya (penggadai/pemilik barang)
Misalnya; seorang meminjam uang kepada orang lain,kemudian menggadaikan seekor kambing betina yang sedang hamil. Tatkala penggadai mau melunasi hutangnya dan mengambil barang yang digadaikan tadi, ternyata kambing miliknya telah melahirkan tiga ekor, dan dari tiga ekor tadi melahirkan sembilan ekor, sehingga kambing-kambing itu berjumlah tiga belas ekor, maka semua kambing tadi termasuk barang gadai dan tetap hak milik penggadai barang. Dan begitu pula sebaliknya, seandainya ternyata kambing yang sedang hamil tadi mati tanpa adanya faktor kesenjangan dari pemegang barang, maka kerugian tersebut dikembalikan kepada pemilik barang, dan tidak menjamin kerugian karena tidak ada unsur kesenjangan.
Apabila barang gadai membutuhkan biaya perawatan seperti hewan yang membutuhkan biaya makan, minum dan yang lainnya, maka biaya ini pada asalnya ditanggung oleh penggadai (pemilik barang), karena pemilik barang pada asalnya menganggung semua kerugian dan memiliki semua hasil keuntungan yang timbul dari barangnya. Misalnya; apabila seseorang menggadaikan sebuah tokonya yang besar, sedangkan situasi di tempat tersebut tidak aman dan sangat dikhawatirkan adanya para pencuri yang akan mencuri di toko tersebut, maka pemegang toko boleh menyewa para penjaga toko/ satpam untuk menjaga agar toko terebut selamat dari gangguan pencuri, dan yang menanggung biaya sewa satpam adalh penggadai (pemilik toko) itu.
Apabila telah datang waktu (jatuh tempo) yang disepakati untuk pembayaran hutang, maka ada beberapa kemungkinan yang terjadi:
·                     Apabila telah jatuh tempo pembayaran hutang dan penggadai (pemilik barang) telah mendapati / mempunyai harta untuk melunasi hutangnya, maka dia harus bersedia membayar hutangnya, dan mengambil kembali barang gadai yang telah dijadikan sebagai jaminannya. Karena inilah kewajiban setiap orang yang mempunyai tanggungan, menepati perjanjian dan tidak mengingkarinya, sebagaimana firman Alloh berfirman:
$ygƒr'¯»tƒ šúïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä (#qèù÷rr& ÏŠqà)ãèø9$$Î/ 4 ôM¯=Ïmé& Nä3s9 èpyJŠÍku5 ÉO»yè÷RF{$# žwÎ) $tB 4n=÷FムöNä3øn=tæ uŽöxî Ìj?ÏtèC ÏøŠ¢Á9$# öNçFRr&ur îPããm 3 ¨bÎ) ©!$# ãNä3øts $tB ߃̍ムÇÊÈ 
Hai orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad perjanjian kalian! (QS. al-Maidah:1):
  • Apabila penggadai (pemilik barang) tidak bisa melunasinya disebabkan ketidakmampuannya, maka disyari’atkan bagi pemegang barang untuk bersabar menunggu sampai penggadai (pemilik barang) mampu dan bisa membayar hutangnya, sedangkan penggadai (pemilik barang) harus berusaha mendapatkan harta untuk melunasi hutangnya karena ini merupakan tanggungannya. Firman Alloh Ta’ala :
bÎ)ur šc%x. rèŒ ;ouŽô£ãã îotÏàoYsù 4n<Î) ;ouŽy£÷tB 4 br&ur (#qè%£|Ás? ׎öyz óOà6©9 ( bÎ) óOçFZä. šcqßJn=÷ès? ÇËÑÉÈ  
Dan jika (orang yang berhutang itu) dalam kesulitan, maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan (QS. al-Baqarah [2] : 280)
Dan pemilik barang masih mempunyai kesempatan untuk mendapatkan kembali barang yang digadaikan, dan barang tersebut masih tetap hak milik penggadai sebagaimana Rasulullah sabda: Ibnu Atsir mengatakan, “Termasuk perbuatan kaum jahiliyah, apabila penggadai/pemilik barang tidak mampu melunasi hutangnya, maka secara otomatis barang tersebut menjadi milik pemegang barang. Agama Islam membatalkan anggapan seperti ini”
Akan tetapi apabila pemegang barang ingin menarik / menuntut haknya karena dia membutuhkannya, misalnya: maka dia berhak menuntut haknya supaya pemilik barang bersedia menjual barang yang digadaikan tersebut, dan hasil penjualan barang gadai dipakai untuk melunasi hutangnya.
  • Apabila penggadai (pemilik barang) tidak mau melunasi hutangnya padahal dia dalam keadaan lapang atau mampu untuk melunasi hutangnya, maka hakimlah yang menghukumi masalah ini. Dan barang gadai harus dijual lantas hasil penjualannya dipakai untuk melunasi hutangnya, walaupun penggadai atau pemilik barang tidak rela barangnya dijual. Hal ini telah disepakati oleh para fuqoha (ahli fiqh) (Lihat Kasyful Qana’ 3/330, al-Fiqhul Islami 5/275 )
Apabila barang gadai rusak/hilang di tangan pemegang barang gadai tersebut, maka pemegang barang tidak menanggungnya, dan yang menanggung adalah pemilik barang (penggadai barang) itu sendiri, kecuali apabila ada unsur kesengajaan yang dilakukan oleh pemegang barang.
  • Hal ini didasari oleh sabda Nabi Shollallahu ‘Alaihi Wasallam yang telah lalu, yaitu :”keuntungan dan kerugian adalah haknya (penggadai / pemilik barang)”.
  • Dan didasari pula karena barang yang ada di tangan pemegang adalah amanah, maka barang tersebut tidak boleh dimanfaatkan kecuali dengan seizin pemiliknya yang sah; sedangkan orang yang diberi amanah tidak menanggung kerusakan kecuali jika ada unsur kesengajaan.
  • Juga dikarenakan orang yang memegang amanah afalah orang yang berbuat baik kepada sesamanya sehingga tidak ada jalan menyalahkannya kalau dia tidak menyengaja. Alloh berfirman:
}§øŠ©9 n?tã Ïä!$xÿyèÒ9$# Ÿwur n?tã 4ÓyÌöyJø9$# Ÿwur n?tã šúïÏ%©!$# Ÿw šcrßÅgs $tB šcqà)ÏÿYムëltym #sŒÎ) (#qßs|ÁtR ¬! ¾Ï&Î!qßuur 4 $tB n?tã šúüÏZÅ¡ósßJø9$# `ÏB 9@ŠÎ6y 4 ª!$#ur Öqàÿxî ÒOÏm§ ÇÒÊÈ  
Tiada jalan sedikitpun untuk menyalahkan orang-orang yang berbuat baik, dan Alloh Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. at-Taubah [9] : 91)
Misalnya; seseorang menggadaikan mobilnya kepada si fulan, kemudian si fulan menggunakan mobil ini untuk mengangkut penumpang tanpa seizin penggadainya. Sehingga dalam jangka waktu sekian lama, mobil itu rusak dan membutuhkan biaya perbaikan yang besar. Maka si fulan harus menanggung semua biaya perbaikan mobil tersebut karena ada unsur kesengajaan dirinya atas terjadinya kerusakan mobil tersebut.
      d. Pertumbuhan Barang Gadai
Pertumbuhan atau pertambahan barang gadai setelah digadaikan adakalanya bergabung dan adakalanya terpisah. Bila tergabung seperti, (bertambah) gemuk, maka ia masuk dalam barang gadai dengan kesepakatan ulama. Sedangkan jika terpisah, maka dalam hal ini terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama. Imam Abu Hanifah, Imam Ahmad dan yang menyepakatinya memandang pertambahan atau pertumbuhan barang gadai yang terjadi setelah barang gadai ditangan Murtahin, maka ikut kepada barang gadai tersebut.
Sedangkan Imam Syafi’i dan Ibnu Hazm dan yang menyepakatinya memandang, pertambahan atau pertumbuhan bukan ikut barang gadai, tetapi menjadi milik orang yang menggadaikannya. Hanya saja Ibnu Hazm berbeda dengan Syafi’i menyangkut barang gadai yang berupa kendaraan dan hewan menyusui. Ibnu Hazm berpendapat, dalam kendaraan dan hewan yang menyusui, (pertambahan dan pertumbuhannya) milik yang menafkahinya.

      e. Perpindahan Kepemilikan Dan Pelunasan Hutang Dengan Barang Gadai
Barang gadai tidak berpindah kepemilikannya kepada Murtahin apabila telah selesai masa perjanjiannya, kecuali dengan izin orang yang menggadaikannya (Rahin), dan rahin tidak mampu melunasinya.



G. Khiyar dalam Jual beli
Dalam jual beli, menurut agama Islam dibolehkan memilih, apakah akan meneruskan jual beli atau tidak, karena terjadinya suatu hal, khiar dibagi menjadi tiga macam sebagai berikut:
1.        Khiyar Majelis artinya antara penjual dan pembeli diperbolehkan memilih akan melanjutkan jual beli atau akan membatalkannya. Selama mereka masih dalam suatu tempat (majelis), khiar jual beli boleh dilakukan dalam jual beli.
Rasulullah Saw bersabda: “Pembeli dan penjual boleh melakukan jual beli selama tidak   terpisah
2.        Khiyar Syarat yaitu penjualan yang didalamnya diisyaratkan sesuatu baik oleh penjual dan pembeli seperti seseorang berkata, “saya jual rumah ini dengan harga Rp. 100.000.000,00 dengan syarat khiyar - selama tiga hari”.
Rasulullah Saw bersabda: “Kamu boleh Khiyar pada setiap benda yang telah dibeli selama tiga hari tiga malam”. (Riwayat Baihaqi).
3.        Khiyar’aib artinya dalam jual beli ini diisyaratkan kesempurnaan benda-benda yang dibeli, seperti seseorang barkata; “saya beli harga ini dengan harga sekian, bila mobil ini cacat akan saya kemalikan.
Diriwayatkan oleh Ahmad dan Abu Daud dari Aisyah r.a bahwa seseorang membeli budak, kemudian budak itu disuruh dihadapan dengan pembeli, didapatknya sesuatu yang cacat dari budak itu, lalu diadukan kepada Rasulullah, maka budak itu dikembalikan kepada penjual.[4]
Selain itu, ada empat kategori khiyar menurut, Prof. Dr. Muhammad Takhir Mansoori, dan tambahan dari kategori diatas adalah Khiyar al-ghabn (hak untuk membatalkan  kontrak karena penipuan).

Khiyar al-ghabn dapat diimplementasikan dalam situasi seperti berikut:
1. Tasriyah yang bermakna mengikat kantong susu unta betina atau kambing supaya air susu itu berkumpul dikantong susunya sehingga memberikan kesan kepada pembeli bahwa air susunya sudah banyak. Dan ini bisa dibatalkan pembeli apabila dia merasa dirugikan ataupun ditipu. Ulama mazhab Hanafi tidak menyetujui pembatalan kontrak. Mereka mengizinkan orang yang ditipu untuk menuntut tambahan yang tidak merugikan penjual.
2. Tanajus  bermakna menawar harga yang tinggi untuk suatu barang tanpa niat untuk membelinya, untuk tujuan semata-mata menipu orang lain yang ingin membeli barang tersebut.
3. Ghabn Fahisy adalah kerugian besar yang diderita oleh suatu pihak dari kontral sebagai hasil dari penggelapan atau penggambaran yang salah atau penipuan yang dilakukan oleh pihak lain. Ulama Hanafi berpendapat bahwa kerugian besar yang diderita oleh suatu pihak, bukan merupakan penyebab untuk membatalkan kontrak.
4. Talaqqi al-rukban merupakan transaksi dimana orang kota mengambil keuntungan dari ketidaktahuan orang Badui yang memawa barang primer dan kebutuhan pokok untuk dijual dan menipunya dalam perjalanan ketempat penjual.[5] 

b). Gadai
Khiyar dalam pengadaian tidak ada karena khiyar untuk memilih barang yang hendak dibeli antara pembeli dengan penjual yang sesuai dengan barang yang dipilih pembeli dan yang     harga yang ditetapkan penjual, sedangkan dalam gadai tidak ada transaksi untuk ambli ahli dari pemilik kepada pegadai, jika itu terjadi maka hukum gadainya bersifat riba.

    H. Persyaratan dalam Jual Beli dan Gadai.
a). Jual Beli.
Berbeda dengan syarat dan persyaratan jual beli. Syarat sah jual beli ditentukan oleh agama, sedangkan persyaratan ditentukan oleh salah satu pihak pelaku. Bila syarat sah itu dilanggar maka jual beli (akad) itu tidak sah, sedangkan jika persyaratan itu tidak dipenuhi maka akad itu sah tetapi pelaku itu membatalkan atau melakukan (khiyar). Persyaratan ada dua macam yaitu:
1.        Persyaratan yang dibenarkan agama, misalnya: persyaratan yang sesuai dengan tuntutan akad, persyaratan tausiqiyah (penjual mengisyaratkan pembeli memberikan jaminan), persyaratan washfiyah (mengisyaratkan kriteria dan barang tertentu), persyaratan manfaat, persyaratan taqyidiyyah (pihak yang mengisyaratkan hal yang bertentangan dengan kewenangan kepemilikan), persyaratanakad fi akad (menggabungkan dua akad dalam satu akad), persyaratan jaza’i (persyartan denda), dan persyaratan takliqiyyah (berdasarkan yang ada dua pemilik yang  menyetujui maka akad sah),
2.        Persyaratan yang dilarang agama.misalnya persyaratan yang menggabungkan akad qardh dengan ba’i (mengganti utang dengan syarat digantikan oleh barang yang harganya beda jauh),  dan persyaratan yang betentangan dengan tujuan akad (barang yang dijual tidak berpindah tangan kepada pembeli).[6]

b). Gadai.
1.        Persyaratan gadai subyektif: persyaratan yang sesuai dengan perjanjian gadai dan harus memenuhi syarat cukup melakukan tukar menukar barang.
2.        Syarat barang gadai (Marhun): bahwa barang yang sudah dijadikan jaminan sudah wujud pada waktu perjanjian terjadi. Sehingga memungkinkan barang itu untuk diserahkan seketika itu pada murtahin dan juga barang itu mempunyai nilai.[7]

 
BAB III
PENUTUP

A.      Kesimpulan
Berdasarkan isi dari makalah jual beli dan gadai itu sering dilakukan dalam kalangan masyarakat, tetapi cara dan rukunnya berbeda sesuai dengan Islam ataupun Hukum semata. Terkadang dalam kehidupan bermasyarakat tanpa disadarinya merujung pada riba maupun yang tidak sesuai dengan hukum Islam maupun pedoman Islam.
Jual beli adalah tukar menukar suatu barang dengan barang lain dengan cara tertentu (akad), terdapat pada surah al-Qur’an.
Secara etimologi gadai bersasal dari bahasa arab yaitu ar-rahn yang berarti tetap, kekal, dan jaminan. Secara istilah ar-rahn disebut dengan barang jaminan, dalam Islam yaitu sarana tolong menolong bagi umat Islam tanpa ada imbalan jasa.

B.          SARAN
Demikianlah yang dapat saya sampaikan, tentunya banyak kekurangan dan kelemahan karena terbatasnya pengetahuan. Semoga dapat bermanfaat bagi pembaca apabila ada saran maupun kritik yang ingin disampaikan pada saya silahkan sampaikan kepada saya. Apabila ada kesalahan saya mohon maaf dan dimaklumi, karena saya adalah manusia dan hamba Allah yang tidak luput dari kekurangan maupun kesalahan.


DAFTAR PUSTAKA

Mardani, 2012. fiqih Ekonomi Syariah.Jakarta: Prenada Media Group. 

Az-zuhaili Wahbah.2011, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, Jakarta: Gema Insani.

Suhendi Hendi, Fiqih Muamalah,1997.Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

ash Shiddieqy Teungku Muhammad Hasbi,2001, Pengantar Fiqih Muamalah. Semarang: PT
Pustaka Rizki Putra.

Dkk, Ghazaly Abdul Rahman, Fiqih Muamalat, 2010. Jakarta: Prenada Media Group.

Wahid Muhammad bin Achmad Al Faqih Abul, 2007, Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul  Muqtashid, Jakarta  Pusat: Pustaka Amani.
             
Apriyani Yustina – UIN Sunan Gunung Djati Bandung, http://sepnazyik.wordpress.com/makalah-pendidikan/hukum-gadai/, diunduh pada, 23 Desember 2011.





[1] Dkk, Ghazaly Abdul Rahman, Fiqih Muamalat, (Jakarta: Prenada Media Group, 2010), hlm. 67-89.
[2] Al Faqih Abul Wahid Muhammad bin Achmad ,Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid, (Jakarta  Pusat: Pustaka Amani, 2007), hlm 700.
    [3]  Teungku Muhammad Hasbi ash Shiddieqy, Pengantar Fiqih Muamalah, (Semarang: PT Pustaka Rizki Putra,2001), hlm 87
[4] Hendi Suhendi, Fiqih Muamalah, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,1997),hlm 67-83


[5] Wahbah Az-zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, (Jakarta: Gema Insani, 2011), hlm 200
[6] Mardani, fiqih Ekonomi Syariah. (Jakarta: Prenada Media Group, 2012). hlm 101- 110
[7] Yustina Apriani – UIN Sunan Gunung Djati Bandung, http://sepnazyik.wordpress.com/makalah-pendidikan/hukum-gadai/, diunduh pada, 23 Desember 2011

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Proses Perencanaan.

syirkah, ijarah, dan ariyah