Jual Beli dan Gadai
MAKALAH FIQIH
TENTANG JUAL BELI DAN GADAI
D
I
S
U
S
U
N
OLEH:
NAMA : Ade Sri Wulan Pane
NIM : 1530100006
SEM/JUR : KPI/ V(LIMA)
Dosen
pengampuh:
Zilfaroni,
S.Sos.I.,M.A
FAKULTAS
DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI
INSTITUT
AGAMA ISLAM NEGERI
PADANGSIDIMPUAN
T.A.
2017/2018
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum Warahmatullah
Wabarakatu...
Puji syukur saya panjatkan
kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayahnya sehingga saya
dapat menyelesaikan tugas makalah ini dengan judul “Jual Beli dan
Gadai ”,serta tak lupa pula saya haturkan shalawat serta salam kepada
junjungan Nabi kita Muhammad SAW yang telah membawa kita dari zaman jahilia,
dari zaman kebodohan menuju zaman yang sekarang ini yakni zaman yang penuh dengan
ilmu pengetahuan dan teknologi.
Makalah ini di persiapkan dan di
susun untuk memenuhi tugas kuliah serta menambah wawasan dan ilmu pengetahuan,
di dalam makalah ini saya menyadari bahwa penulisanya masih sangat sederhana
dan jauh dari kesempurnaan. Namun, besar harapan saya semoga makalah yang
disusun ini bisa bermanfaat. Saya selaku penulis makalah ini dapat
terselesaikan atas usaha keras saya dan bantuan rekan-rekan dalam diskusi untuk
mengisi kekuranganya.
Dalam pembuatan makalah ini saya
sangat menyadari bahwa baik dalam penyampaian maupun penulisan masih banyak
kekurangannya untuk itu saran dan kritik dari berbagai pihak sangat saya
harapkan untuk penunjang dalam pembuatan makalah saya berikutnya.
Wassalamualaikum
Warahmatullah Wabarakatuh...
Padangsidimpuan, 09
September 2017
Penulis
DAFTAR ISI
KATA
PENGANTAR....................................................................................................... i
DAFTAR
ISI...................................................................................................................... ii
BAB
I
PENDAHULUAN................................................................................................... 1
A. Latar
Belakang......................................................................................................
1
B. Rumusan
Masalah.................................................................................................
2
C.
Tujuan.................................................................................................................... 2
BAB
II
PEMBAHASAN..................................................................................................... 3
A. Pengertian Jual Beli dan
Gadai............................................................................. 3
B. Rukun Jual Beli dan
Gadai.................................................................................... 4
C. Syarat Jual Beli dan
Gadai.................................................................................... 4
D. Unsur Jual beli dan
Gadai.................................................................................... 5
E. Macam-macam Jual beli dan
Gadai..................................................................... 5
F. Hukum Jual beli dan
Gadai................................................................................... 6
G. Khiyar Jual beli dan
Gadai.................................................................................... 14
H. Persyaratan Jual beli dan
Gadai............................................................................
16
BAB
III
PENUTUP.............................................................................................................. 17
A.
Kesimpulan............................................................................................................. 17
B.
Saran........................................................................................................................ 17
DAFTAR
PUSTAKA............................................................................................................
18
BAB 1
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Pada saat ini jual beli dan gadai
adalah hal yang lumrah dalam kehidupan sehari-hari namun pada kenyatannya masih
banyak orang yang belum mengetahui hukum gadai dalam Islam. Tuntutan hidup yang
semakin keras membuat banyak orang memilih mendapatkan uang dengan cepat meski
tidak mengetahui hukum-hukumnya dalam islam. Oleh karena itu penulis tertarik
untuk menelaah lebih lanjut mengenai hukum gadai dalam islam.
B.
RUMUSAN MASALAH
Dari uraikan latar belakang diatas dapat ditarik
beberapa rumusan masalah, sebagai berikut:
1. Apa pengertian Jual beli dan Gadai?
2. Apa saja syarat, rukun, dan hukum jual beli dan gadai?
C.
TUJUAN
Sesuai dengan rumusan masalah diatas, penulisan ini bertujuan
untuk menginformasikan dan menjelaskan tentang jual beli dan gadai berdasarkan
ajaran Islam dalam panduan Fiqih Muamalah serta menjelaskan rumusan masalah
diatas. Secara khusus makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah
Manajemen serta menginformasikan wawasan dan pengetahuan ke teman-teman jurusan
kpi semester lima.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Jual Beli dan Gadai
a)
Jual
beli.
Jual beli adalah tukar menukar suatu barang dengan barang
lain dengan cara tertentu (akad). Sesuai dengan firman Allah dalam QS.
Al-baqarah:275.
úïÏ%©!$#
tbqè=à2ù't
(#4qt/Ìh9$# w tbqãBqà)t wÎ) $yJx.
ãPqà)t
Ï%©!$#
çmäܬ6ytFt ß`»sÜø¤±9$# z`ÏB Äb§yJø9$#
4
y7Ï9ºs
öNßg¯Rr'Î/ (#þqä9$s%
$yJ¯RÎ)
ßìøt7ø9$# ã@÷WÏB (#4qt/Ìh9$# 3
¨@ymr&ur ª!$# yìøt7ø9$# tP§ymur (#4qt/Ìh9$# 4
`yJsù
¼çnuä!%y`
×psàÏãöqtB `ÏiB ¾ÏmÎn/§ 4ygtFR$$sù
¼ã&s#sù
$tB
y#n=y ÿ¼çnãøBr&ur n<Î)
«!$# (
ïÆtBur y$tã
y7Í´¯»s9'ré'sù Ü=»ysô¹r&
Í$¨Z9$# (
öNèd $pkÏù crà$Î#»yz ÇËÐÎÈ
275. Orang-orang yang Makan (mengambil)
riba[174] tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan
syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila[175]. Keadaan mereka yang demikian
itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), Sesungguhnya jual beli itu
sama dengan riba, Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan
riba. orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu
terus berhenti (dari mengambil riba), Maka baginya apa yang telah diambilnya
dahulu[176] (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah.
orang yang kembali (mengambil riba), Maka orang itu adalah penghuni-penghuni
neraka; mereka kekal di dalamnya.
Jual beli atau perdangangan dalam
istilah fiqih disebut al-ba’i yang menurut etimologi berarti menjual atau
mengganti. Wahbah al-Zuhaily mengartikan secara bahasa dengan “menukar sesuatu
dengan sesuatu yang lain”. Kata al-ba’i dalam Arab terkadang digunakan untuk pengertian
lawannya, yaitu kata al-syira’ (beli). Dengan demikian, kata al-ba’i berarti
jual, tetapi sekaligus juga berarti beli. Secara terminologis terdapat beberapa
definisi jual beli yang dikemukakan para ulama fiqih, meskipun substansi dan
tujuan masing-masing sama. Sayyid Sabiq “Jual beli ialah pertukaran harta
dengan harta lainatas dasar saling merelakan”, atau “memindahkan milik dengan
ganti yang dapat dibenarkan.”
Ulama Hanafiyah adalah melalui ijab
dan kabul atau juga boleh melalui ijab kabul atau juga boleh saling memberikan
barang dan harga dari penjual dan pembeli.
Menurut Ibn Qudamah yaitu “Saling
bertukar harta dengan harta dalam bentuk pemindahan milik dan pemilikan.”
Menurut Ulama Malikiyah adalah jual
beli ada dua macam, yaitu jual beli yang bersifat khusus dan jual beli bersifat
umum. 1. menurut arti umum jual beli adalah suatu perikatan (akad dari kedua
pihak) tukar-menukar sesuatu yang bukan kemanfaatan dan kenikmatan. 2. Menurut
arti khusus ialah ikatan tukar menukar sesuatu yang bukan kemanfaatan dan bukan
pula kelezatan yang mempunyai daya tarik, barangnya yang sudah diketahui
sifat-sifatnya maupun yang terlebi dahulu.
b)
Gadai
Secara etimologi gadai bersasal dari
bahasa arab yaitu ar-rahn yang berarti tetap, kekal, dan jaminan. Secara istilah
ar-rahn disebut dengan barang jaminan, dalam Islam yaitu sarana tolong menolong
bagi umat Islam tanpa ada imbalan jasa.
@ä. ¤§øÿtR $yJÎ/ ôMt6|¡x. îpoYÏdu ÇÌÑÈ
“Tiap-tiap jiwa tertahan (untuk mempertanggungjawabkan) atas
apa yang telah diperbuatnya (QS. Al-Muddatstsir [74]: 38).
Atau bermakna “diam tidak bergerak”, sebagaimana dikatakan
para ahli fiqh:
“Haram bagai seseorang kencing di air yang rahin, yaitu air
yang tidak bergerak”
Makna gadai menurut istilah ahli
fiqh adalah “barang yang dijadikan sebagai jaminan hutang apabila tidak dapat
melunasinya”. (Lihat Fathul Bari 5/173, al-Mughni 6/443, Aunul Ma;bud 9-10 /
319).
Ada beberapa definisi ar-rahn menurut para ulama fiqih
yaitu:
Ulama Malikiyah mendefinisikan bahwa
harta yang dijadikan pemiliknya sebagai jaminan hutang yang bersifat mengikat.
Dan jika gadai itu karena hutang
perdadangan maka itu diperbolehkan, namun jika gadai itu karena pinjaman
maka hal itu tidak boleh karena ia menjadi pinjaman yang mendatangkan manfaat.
Ulama Hanafiyah medefinisikan bahwa
menjadikan suatu barang menjadi jaminan terhadap hak (piutang) yang mungkin
dijadikan sebagai pembayar hak (piutang) baik seluruh maupun sebagian. Dan
tidak boleh agi pemengang barang gadai memanfaatkan barang gadaian dengan
memakai, mengendarai, menempati, dan memakai, kecuali dengan izin pengadai.
Ulama Syafi’yah dan Hanabilah
mendefinisikan ar-rahn bahwa barang yang boleh dijadikan hutang itu adalah yang
bersifat materi.
Para ulama fiqih berpendapat bahwa
gadai boleh dilakukan dalam perjalanan dan dalam keadaaan hadir ditempat , asal
barang, jaminan, itu bisa langsung dipegang/dikuasai secara hukum bagi piutang.
Maksudnya tidak semua barang jaminan bisa dipegang/dikuasai bagi sipembeli
piutang secara langsung.
Para ulama fiqih mengemukakan bahwa
akad ar-rahn dibolehkan dalam Islam berdasarkan al-Qur’an dan sunnah Rasul.
Dalam surah al-baqarah: 283.
*
bÎ)ur
óOçFZä.
4n?tã 9xÿy öNs9ur (#rßÉfs?
$Y6Ï?%x. Ö`»ydÌsù
×p|Êqç7ø)¨B
(
÷bÎ*sù z`ÏBr& Nä3àÒ÷èt/
$VÒ÷èt/
Ïjxsãù=sù
Ï%©!$#
z`ÏJè?øt$# ¼çmtFuZ»tBr& È,Guø9ur ©!$# ¼çm/u
3
wur (#qßJçGõ3s?
noy»yg¤±9$# 4
`tBur
$ygôJçGò6t
ÿ¼çm¯RÎ*sù ÖNÏO#uä
¼çmç6ù=s%
3
ª!$#ur $yJÎ/
tbqè=yJ÷ès?
ÒOÎ=tæ
ÇËÑÌÈ
283. Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak
secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, Maka hendaklah ada
barang tanggungan yang dipegang[180] (oleh yang berpiutang). akan tetapi jika
sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, Maka hendaklah yang dipercayai
itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah
Tuhannya; dan janganlah kamu (para saksi) Menyembunyikan persaksian. dan
Barangsiapa yang menyembunyikannya, Maka Sesungguhnya ia adalah orang yang
berdosa hatinya; dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.
B. Rukun Jual Beli dan Gadai.
a)
Rukun
Jual Beli.
1. Penjual dan pembeli
2. Ada shighat (lafazijab dan kabul).
3. Ada barang yang dibeli.
4. Ada nilai tukar pengganti barang.
b) Rukun Gadai.
1. Akad dan ijab kabul
2. Aqid
Menurut
Syafi’iyah ahliyah adalah orang yang telah sah untuk jual beli yakni berakal
dan mumayyis tetapi tidak diisyaratkan harus baliqh.
3. Waktu
gadai.
4. Barang
yang telah dijadikan jaminan tidak rusak.
Rasul
bersabda: “Setiap barang boleh diperjual belikan boleh dijadikan barang gadai.”
5. Ada hutang, diisyaratkan keadaan
hutang telah tetap.
C. Syarat Jual Beli dan Gadai.
a) Syarat Jual Beli.
1. Berakal.
2. Orang melakukan akad berbeda.
3. Menjual dan membeli tidak dipaksa.
Sesuai
dengan firman Allah dalam surah An.Nisa:29
4. Tidak
mubajir (pemboros), sebab harta bagi orang mubajir pada walinya.
Sesuai
dengan firman Allah dalam surah An.Nisa:5.
5. Baliq
6.
Barangnya Suci.
7. Ada
manfaatnya.
Sesuai
dengan firman Allah dalam surah Al-Isra 27.
8. Barang
itu dapat diserahkan.
Dari Abu
Hurairah, ia berkata, “Nabi SAW telah
melarang memperjual belikan barang yang mengandung tipu daya.
9. Barang
tersebut merupakan kepunyaan dari penjual.
Sabda
Rasulullah: “tidak sah jual beli selain mengenai barang yang dimiliki.” (Abu
Dawud dan Tarmizi).
10. Barang
tersebut telah diketahui oleh sang pembeli dan penjual.
Menurut
syarat jual beli banyak para ulama fiqih berbeda pendapat: sebagai berikut:
1. Menurut
ulama Syafi’iyah ijab kabul adalah “Tidak sah akad jual beli kecuali dengan
shigat (ijab kabul) yang diucapkan)”.
2. Imam Malik berpendapat: “Bahwa jual beli itu
tidak sah dan dapat dilakukan secara dipahami saja”.
3. Pendapat
ketiga ialah penyampaian akad dengan perbuatan disebut dengan aqad bi
al-mu’athah yaitu mengambil dan memberikan dengan tanpa perkataan (ijab dan
kabul).
b). Syarat
Gadai.
Menurut ulama Hanafiyah mengisyaratkan antara lain:
1. Dapat
diperjual belikan.
2.
Bermanfaat
3. Jelas
barangnya.
4. Milik
aqid.
5. Bisa
diserah terima.
6. Tidak
bersatu dengan harta lain.
7.
Dipegang oleh rahin.
8. Harta
tetap.
Menurut Sayyid Sabiq
mengisyaratkan antara lain:
1. Orangnya sudah dewasa.
2. Berpikiran sehat.
3. Barang dapat dijadikan jaminan.
D. Unsur Jual beli dan Gadai.
a). Unsur dari Jual Beli yaitu:
1. Al- ‘Aqid:
orang yang melakukan transaksi/penjual/pembeli.
2. Al- ‘Aqd:
transaksi.
3. Al- ‘Ma’qud
‘Alaihi: objek transaksi mencakup barang maupun uang.
b). Gadai secara syariah ini memiliki beberapa unsur:
1. Ar-Rahin: orang yang menggadaikan barang atau
meminjam uang dengan jaminan barang
2. Al-Murtahin: orang yang menerima barang yang
digadaikan atau yang meminjamkan uangnya.
3. Al-Marhun/ Ar-Rahn: barang yang digadaikan
atau dipinjamkan
4. Al-Marhun bihi:
uang dipinjamkan lantaran ada barang yang digadaikan
E. Macam-macam Jual Beli dan Gadai
a). Jual Beli.
Jual beli dapat ditinjau dari
beberapa segi. Ditinjau dari segi hukumnya, jual beli ada dua macam yaitu jual
beli yang sah menurut hukum dan batal menurut hukum, dari segi objek jual beli
dan segi pelaku jual beli. Ditinjau dari segi benda yang dijadikan objek jual beli
dapat dikemukan pendapat Imam Taqiyuddin bahwa jual beli dibagi menjadi tiga
bentuk: 1) Jual beli benda yang kelihatan,
2) Jual beli yang disebutkan
sifat-sifatnya dalam janji,
3) Jual beli benda yang tidak ada.
Rasulullah Saw bersabda: “Sesungguhnya Nabi Saw, melarang
perjualan anggur sebelum hitam dan dilarang penjualan biji-bijian sebelum
mengeras”.[1]
b). Gadai.
Gadai jika dilihat dari sah tidaknya
akad terbagi atas dua yaitu gadai shahih dan gadai fasid sebagai berikut:
1). Rahn Shahih/lazim: gadai yang benar
karena terpenuhi syarat dan rukunya.
2). Rahn Fasid: akad gadai yang tidak
terpenuhi rukun dan syaratnya.
F.
Hukum jual beli dan Gadai.
a). Jual Beli
Hukum jual beli adalah mubah
(boleh), akan tetapi pada situasi-situasi tetentu menurut Imam al-Syathibi,
hukumnya boleh berubah menjadi wajib. Ada beberapa kondisi yang melarang jual
beli dan hukumnya batal sebagai berikut:
1.
Barang
yang dihukumkan najis oleh agama, seperti anjing, babi, berhala, bangkai, dan
khamar.
“Dari Jahir r.a, Rasulullah Saw bersabda, sesungguhnya Allah
dan Rasul-Nya telah mengharamkan menjual arak, bangkai, babi, dan berhala.
(riwayat Bukhari dan Muslim).
2.
Jual
beli sprema (mani) hewan, seperti mengawanikan seekor domba jantan dengan
betina agar dapat memperoleh keturunannya. Jual beli hukumnya haram karena
Rasulullah Saw, bersabda: “Dari Ibnu Umar r.a berkata; Rasulullah Saw telah
melarang menjual mani binatang”(Riwayat Bukhari).
3.
Jual
beli anak binatang yang masih berada dalam perut induknya, karena barangnya
belum ada dan tidak tampak.
“Dari Ibnu Umar r.a berkata; Rasulullah
Saw bersabda: telah melarang penjualan sesuatu yang masih dalam kandungan
induknya”(Riwayat Bukhari dan Muslim).[2]
4.
Jual
beli dengan muhaqallah (tanaman-tanaman yang masih diladang), karena mengandung
riba didalamnya.
5.
Jual
beli dengan mukhadharah disebut menjual buah-buahan yang belum layak dijual.
6.
Jual
beli dengan muammassah yaitu jual beli secara sentuh menyentuh misalnya
seseorag yang menyentuh kain maka orang itu telah memiliki kain tersebut, ini
dilarang karena mengandung unsur mistik ataupun tipuan.
7.
Jual
beli dengan munabadzah yaitu jual beli secara lempar melempar misalnya
seseorang berkata “lemparkan kepadaku
apa yang ada padamu, nanti akan dilemparkan kepadamu apa yang ada padaku.
8.
Jual
beli dengan muzabanah yaitu menjual buah yang basah dengan buah yang kering
seperti menjual padi kering dengan bayaran padi basah.
“Dari Anas r.a,
ia berkata Rasulullah Saw bersabda
9.
Menentukan
dua harga untuk satu barang yang diperjual belikan.
Menurut Syafi’i mengadung dua arti
yaitu: 1)kujual buku ini sebesar $10 dengan tunai atau $15 dengan utang, 2)
“Aku jual buku ini kepadamu dengan syarat kamu harus menjual tasmu padaku. Maka
dari kedua itu disebut Riba.
10. Jual beli dengan syarat (iwadh
mahjul), sama saja dengan jual dengan dua harga.
11. Jual beli gharat yaitu jual beli
dengan samar sehingga ada kemungkinan ada penipuan.
12. Jual beli dengan mengecualikan
barang yang lain dilarang apabila yang dikecualikannya tidak jelas.
13. Jual beli dengan menjual makanan dengan
dua kali takar. Karena tidak ada kepercayaan kedua pihak.
Ada beberapa macam jual beli yang dilarang
agama tapi sah didepan hukum yaitu:
14. Menjual barang dengan menipu harga
modalnya kepada orang lain.
15. Menawar barang yang sedang ditawar
orang lain.
16. Jual beli dengan najasyi ialah
seseorang menambah atau melebihi harga temannya dengan maksud memancing-mancing
orang agar orang itu mw membeli barang kawannya.
17. Menjual diatas penjual orang lain.[3]
b). Gadai
Hukum jual beli adalah mubah
(boleh), akan tetapi pada situasi-situasi tetentu menurut Imam al-Syathibi,
hukumnya boleh berubah menjadi wajib.
b). Hukum gadai.
Hukum gadai dalam islam para ulama
bersepakat, hukum gadai secara umum diperbolehkan. Ini didasari beberapa dalil,
di antaranya:
- Dalil dari al-Qur’an
* bÎ)ur óOçFZä. 4n?tã 9xÿy öNs9ur (#rßÉfs? $Y6Ï?%x. Ö`»ydÌsù ×p|Êqç7ø)¨B ( ÷bÎ*sù z`ÏBr& Nä3àÒ÷èt/ $VÒ÷èt/ Ïjxsãù=sù Ï%©!$# z`ÏJè?øt$# ¼çmtFuZ»tBr& È,Guø9ur ©!$# ¼çm/u 3 wur (#qßJçGõ3s? noy»yg¤±9$# 4 `tBur $ygôJçGò6t ÿ¼çm¯RÎ*sù ÖNÏO#uä ¼çmç6ù=s% 3 ª!$#ur $yJÎ/ tbqè=yJ÷ès? ÒOÎ=tæ ÇËÑÌÈ
Dan jika kamu dalam perjalanan (dan
sedang bertransaksi tidak secara tunai), sedang kamu tidak mendapati penulis,
maka hendaklah ada barang gadai (tanggungan) yang dipegang. (QS. Al-Baqarah [2]
: 283)
2.
Dalil dari Sunnah
Dari Aisyah Radhiyallahu’anha
bahwasanya Nabi Shollallahu ‘Alaihi Wasallam pernah membeli makanan dari
seorang Yahudi, kemudian beliau menggadaikan perisai perangnya. (HR. Bukhari
3/73, 81, 101, 186, 187, Muslim 3 / 1226)
a. Dibolehkan ketika Safar dan tidak
safar:
Dari dalil-dalil di atas, dan masih
benyak lagi hadist-hadist lain, menunjukkan bolehnya pegadaian baik ketika
bepergian / safar ataupun tidak dalam bepergian. Ibnul Mundzir mengatakan, “Aku
tidak mengetahui seorang pun yang menyelisihi hal tersebut kecuali Mujahid saja
yang mengatakan pegadaian hanya boleh ketika safar”. Adapun zhahir ayat yang
disebutkan di atas (yaitu bolehnya pegadaian untuk orang yang bepergian / safar
saja), maka penyebutan bepergian atau safar tersebut karena sering terjadi dan
biasanya tidak dijumpai seorang penulis hutang adalah ketika safar, dan ini
tidak meniadakan bolehnya pegadaian ketika tidak safar.
Bolehnya pegadaian ketika tidak
safar dikuatkan pula oleh zhahir hadist Aisyah Radhiyallahu’anha yang
mengatakan bahwa Rasulullah menggadaikan perisai perangnya ketika beliau sedang
berada di Madinah ; ini menunjukkan Nabi melakukannya ketika tidak sedang
safar. Dan boleh nya pegadaian ketika sedang safar dan tidak safar dikuatkan
oleh makna gadai itu sendiri yang artinya adalah “barang yang dijadikan sebagai
jaminan hutang”. Ini adalah isyarat inti dari pegadaian ialah untuk jaminan,
sama saja ketika safar atau tidak safar (Lihat al-Mughni 6/444, Fathul Bari
5/173-174, al-Majmu’ 1/305, Bidayatul Mujtahid 2/271, al-Muhalla bil Atsar
6/362).
Barang gadai tersebut berada
ditangan Murtahin selama masa perjanjian gadai tersebut, sebagaimana firman
Allah:
“Jika kamu dalam perjalanan (dan
bermu’amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis,
maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang).
[Al-Baqarah : 283]
Dan sabda beliau “Hewan yang
dikendarai dinaiki apabila digadaikan. Dan susu (dari hewan) diminum apabila
hewannya digadaikan. Wajib bagi yang mengendarainya dan yang minum, (untuk)
memberi nafkahnya.” [Hadits Shohih riwayat Al Tirmidzi].
b. Barang yang dibolehkan untuk
gadai
Segala sesuatu yang boleh
diperjualbelikan maka boleh dijadikan barang gadai / jaminan, sehingga apa saja
yang tidak boleh diperjualbelikan maka tidak boleh digadaikan. Hal ini dikarenakan
maksud menggadaikan sesuatu adalah untuk jaminan apabila tidak dapat melunasi
hutangnya, sehingga apabila penggadai (pemilik barang) tidak bisa melunasi
hutangnya, maka barang tersebut bisa dijual untuk melunasi hutang tersebut, dan
ini akan terwujud dengan barang yang bisa diperjualbelikan. ( ar-Raudhul Murbi’
Syarh Zadul Mustawni’, Manshur bin Yunus al- Bahuti, hal. 364)
Oleh karena itu, seandainya sesorang
ingin meminjam uang kemudian menggadaikan anaknya, maka ini tidak diperbolehkan
karena anak tidak boleh diperjualbelikan. Sebagaimana hadists yang diriwayatkan
oleh Imam Bukhari, bahwasanya Rasulullah bersabda, “Ada tiga golongan yang
dibantah oleh Alloh pada hari kiamat.” Diantara tiga golongan tersebut,
Rasulullah bersabda: Dan (Allah akan
membantah) seorang yang menjual (orang) yang merdeka dan memakan hasil
penjualannya. (HR. Bukhari 4/447 no. 2270)
Seandainya seseorang ingin meminjam
uang dan menggadaikan hewan-hewan piaraan yang haram hukumnya seperti anjing
dan babi, maka ini tidak diperbolehkan karena anjing dan babi tidak boleh
diperjualbelikan lantaran barang yang haram tidak boleh diperjualbelikan. Hal
ini didasari oleh sebuah hadist Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya Allah
apabila mengharamkan sesuatu, pasti mengharamkan harga (jual belinya.”.
Seandainya seseorang menggadaikan
sebuah rumah padahal rumah ini adalah rumah wakaf, maka penggadaian ini tidak
sah karena sesuatu yang telah diwakafkan tidak boleh dijual. Sebagaimana hadist
yang menjelaskan tentang hal itu, Rasulullah bersabda: “Tidak boleh dijual
barang asal (yang diwakafkan) tidak boleh dihibahkan dan tidak boleh
diwariskan.”
c. Pemengang Gadai, Pembiayaan,
Pemeliharaan, Pemanfaatan Barang Gadai
Pada dasarnya, yang berhak memegang
barang gadai adalah yang meminjami sesuatu kepada penggadai barang, karena
barang gadai tersebut adalah sebagai jaminan hutang yang ia berikan kepada si
peminjam. Dan ini (pemegangan barang) dilakukan oleh orang yang meminjami
sesuatu kepada penggadai, apabila kedua pihak sama-sama rela dan merasa
tsiqah/percaya satu sama lain. Akan tetapi, seandainya salah satu dari mereka
merasa tidak aman dan tidak rela barangnya dipegang oleh orang yang meminjami
sesuatu tadi, maka barang tersebut dipegang oleh pihak ketiga yang telah
disepakati oleh kedua bealh pihak (peminjam yang menggadaikan barangnya dengan
orang yang meminjami sesuatu tersebut). (asy-Syarhul Mumti’ ‘ala Zadil
Mustaqni’ 9/82, dengan penyesuaian).
Kita bisa mengetahui bahwa barang
yang digadaikan adalah sekedar jaminan hutang apabila tidak dapat melunasi
hutangnya, dan barang gadai tidak harus menjadi pengganti hutang tersebut,
sehingga tidak harus sama atau seimbang antara harga barang dengan jumlah
hutangnya, bahkan boleh kurang atau lebih apabila kedua belah pihak rela (suka
sama suka). Dan apabila orang yang berhutang tidak dapat melunasi hutangnya,
maka pemegang barang gadai tersebut berhak menuntut pembayaran hutangnya dan
boleh menahan barang tersebut sampai hutangnya dibayar, karena barang tersebut
berstatus milik penggadai barang. (Lihat al-Mabsuth 21/63, al-Bada’i 6/145)
Jumhur (mayoritas) ulama, begitu
pula semua imam madzhab empat kecuali madzhab Hanbali bersepakat bahwa barang
yang sedang digadaikan tidak boleh dimanfaatkan oleh pemegang barang kecuali
dengan seizin pemilik barang. Hal ini disebabkan karena pemegang barang tidak
memilikinya, bahkan barang tersebut sekedar amanah, sehingga tidak berhak
memanfaatkannya. Hal ini didasari oleh Rasulullah bersabda: “Tidaklah halal
harta seorang muslim kecuali dengan kerelaan dari (pemilik)nya.”
Seandainya pemegang barang terlanjur
memanfaatkannya, serta menjual atau menyewakannya tanpa seizin pemiliknya, maka
menurut Imam Syafi’i dan Imam Hanbali penjualan dan sewa-menyewa tersebut batal
dan tidak sah. Adapun menurut Imam Hanafi dan Imam Malik, penjualan dan sewa
menyewa tersebut hukumnya tergantung kepada pemilik barang, apabila ketika
pemilik barang mengetahui kemudian menyetujui, maka sah penjualan atau sewa
menyewa itu, apabila tidak maka batal dan tidak sah.
Pendapat terakhir inilah (Imam
Hanafi dan Imam Malik) yang kuat dengan dasar sebuah hadist yang dikeluarkan
oleh Imam Bukhari, bahwasanya seorang sahabat bernama Urwah al-Bariqi
Radhiyallahu’anhu pernah dititipi Rasulullah satu dinar untuk membeli satu ekor
kambing qurban, lalu Urwah pergi ke pasar hewan membeli dua ekor kambing
seharga satu dinar, kemudian sebelum kembali kepada Rasulullah ia menjual satu ekor kambing seharga satu
dinar, lalu datang kepada beliau membawa satu ekor kambing dan uang satu dinar,
dan tatkala Rasulullah mengetahuinya,
beliau tidak mengingkarinya, bahkan Nabi menyetujui dan mendo’akan keberkahan
buat Urwah.
Tidak boleh ditutup/ dihalangi
barang yang digadaikan bagi pemiliknya yang menggadaikannya, keuntungan dan
kerugian adalh haknya (penggadai/pemilik barang)
Misalnya; seorang meminjam uang
kepada orang lain,kemudian menggadaikan seekor kambing betina yang sedang
hamil. Tatkala penggadai mau melunasi hutangnya dan mengambil barang yang
digadaikan tadi, ternyata kambing miliknya telah melahirkan tiga ekor, dan dari
tiga ekor tadi melahirkan sembilan ekor, sehingga kambing-kambing itu berjumlah
tiga belas ekor, maka semua kambing tadi termasuk barang gadai dan tetap hak
milik penggadai barang. Dan begitu pula sebaliknya, seandainya ternyata kambing
yang sedang hamil tadi mati tanpa adanya faktor kesenjangan dari pemegang
barang, maka kerugian tersebut dikembalikan kepada pemilik barang, dan tidak
menjamin kerugian karena tidak ada unsur kesenjangan.
Apabila barang gadai membutuhkan
biaya perawatan seperti hewan yang membutuhkan biaya makan, minum dan yang
lainnya, maka biaya ini pada asalnya ditanggung oleh penggadai (pemilik
barang), karena pemilik barang pada asalnya menganggung semua kerugian dan
memiliki semua hasil keuntungan yang timbul dari barangnya. Misalnya; apabila
seseorang menggadaikan sebuah tokonya yang besar, sedangkan situasi di tempat
tersebut tidak aman dan sangat dikhawatirkan adanya para pencuri yang akan
mencuri di toko tersebut, maka pemegang toko boleh menyewa para penjaga toko/ satpam
untuk menjaga agar toko terebut selamat dari gangguan pencuri, dan yang
menanggung biaya sewa satpam adalh penggadai (pemilik toko) itu.
Apabila telah datang waktu (jatuh
tempo) yang disepakati untuk pembayaran hutang, maka ada beberapa kemungkinan
yang terjadi:
·
Apabila
telah jatuh tempo pembayaran hutang dan penggadai (pemilik barang) telah
mendapati / mempunyai harta untuk melunasi hutangnya, maka dia harus bersedia
membayar hutangnya, dan mengambil kembali barang gadai yang telah dijadikan
sebagai jaminannya. Karena inilah kewajiban setiap orang yang mempunyai
tanggungan, menepati perjanjian dan tidak mengingkarinya, sebagaimana firman
Alloh berfirman:
$ygr'¯»t
úïÏ%©!$#
(#þqãYtB#uä
(#qèù÷rr&
Ïqà)ãèø9$$Î/
4
ôM¯=Ïmé& Nä3s9
èpyJÍku5
ÉO»yè÷RF{$#
wÎ) $tB
4n=÷Fã öNä3øn=tæ uöxî Ìj?ÏtèC Ïø¢Á9$#
öNçFRr&ur
îPããm 3
¨bÎ) ©!$# ãNä3øts $tB
ßÌã
ÇÊÈ
Hai orang-orang yang beriman,
penuhilah akad-akad perjanjian kalian! (QS. al-Maidah:1):
- Apabila penggadai (pemilik barang) tidak bisa melunasinya disebabkan ketidakmampuannya, maka disyari’atkan bagi pemegang barang untuk bersabar menunggu sampai penggadai (pemilik barang) mampu dan bisa membayar hutangnya, sedangkan penggadai (pemilik barang) harus berusaha mendapatkan harta untuk melunasi hutangnya karena ini merupakan tanggungannya. Firman Alloh Ta’ala :
bÎ)ur c%x. rè ;ouô£ãã îotÏàoYsù 4n<Î) ;ouy£÷tB 4 br&ur (#qè%£|Ás? ×öyz óOà6©9 ( bÎ) óOçFZä. cqßJn=÷ès? ÇËÑÉÈ
Dan jika (orang yang berhutang itu)
dalam kesulitan, maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan (QS. al-Baqarah
[2] : 280)
Dan pemilik barang masih mempunyai
kesempatan untuk mendapatkan kembali barang yang digadaikan, dan barang
tersebut masih tetap hak milik penggadai sebagaimana Rasulullah sabda: Ibnu
Atsir mengatakan, “Termasuk perbuatan kaum jahiliyah, apabila penggadai/pemilik
barang tidak mampu melunasi hutangnya, maka secara otomatis barang tersebut
menjadi milik pemegang barang. Agama Islam membatalkan anggapan seperti ini”
Akan tetapi apabila pemegang barang
ingin menarik / menuntut haknya karena dia membutuhkannya, misalnya: maka dia
berhak menuntut haknya supaya pemilik barang bersedia menjual barang yang
digadaikan tersebut, dan hasil penjualan barang gadai dipakai untuk melunasi
hutangnya.
- Apabila penggadai (pemilik barang) tidak mau melunasi hutangnya padahal dia dalam keadaan lapang atau mampu untuk melunasi hutangnya, maka hakimlah yang menghukumi masalah ini. Dan barang gadai harus dijual lantas hasil penjualannya dipakai untuk melunasi hutangnya, walaupun penggadai atau pemilik barang tidak rela barangnya dijual. Hal ini telah disepakati oleh para fuqoha (ahli fiqh) (Lihat Kasyful Qana’ 3/330, al-Fiqhul Islami 5/275 )
Apabila barang gadai rusak/hilang di
tangan pemegang barang gadai tersebut, maka pemegang barang tidak
menanggungnya, dan yang menanggung adalah pemilik barang (penggadai barang) itu
sendiri, kecuali apabila ada unsur kesengajaan yang dilakukan oleh pemegang
barang.
- Hal ini didasari oleh sabda Nabi Shollallahu ‘Alaihi Wasallam yang telah lalu, yaitu :”keuntungan dan kerugian adalah haknya (penggadai / pemilik barang)”.
- Dan didasari pula karena barang yang ada di tangan pemegang adalah amanah, maka barang tersebut tidak boleh dimanfaatkan kecuali dengan seizin pemiliknya yang sah; sedangkan orang yang diberi amanah tidak menanggung kerusakan kecuali jika ada unsur kesengajaan.
- Juga dikarenakan orang yang memegang amanah afalah orang yang berbuat baik kepada sesamanya sehingga tidak ada jalan menyalahkannya kalau dia tidak menyengaja. Alloh berfirman:
}§ø©9 n?tã
Ïä!$xÿyèÒ9$#
wur n?tã
4ÓyÌöyJø9$# wur n?tã
úïÏ%©!$#
w crßÅgs
$tB
cqà)ÏÿYã ëltym #sÎ)
(#qßs|ÁtR
¬! ¾Ï&Î!qßuur 4
$tB
n?tã
úüÏZÅ¡ósßJø9$#
`ÏB
9@Î6y
4
ª!$#ur Öqàÿxî
ÒOÏm§
ÇÒÊÈ
Tiada jalan sedikitpun untuk
menyalahkan orang-orang yang berbuat baik, dan Alloh Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang. (QS. at-Taubah [9] : 91)
Misalnya; seseorang menggadaikan
mobilnya kepada si fulan, kemudian si fulan menggunakan mobil ini untuk
mengangkut penumpang tanpa seizin penggadainya. Sehingga dalam jangka waktu
sekian lama, mobil itu rusak dan membutuhkan biaya perbaikan yang besar. Maka
si fulan harus menanggung semua biaya perbaikan mobil tersebut karena ada unsur
kesengajaan dirinya atas terjadinya kerusakan mobil tersebut.
d. Pertumbuhan Barang Gadai
Pertumbuhan atau pertambahan barang
gadai setelah digadaikan adakalanya bergabung dan adakalanya terpisah. Bila
tergabung seperti, (bertambah) gemuk, maka ia masuk dalam barang gadai dengan
kesepakatan ulama. Sedangkan jika terpisah, maka dalam hal ini terjadi
perbedaan pendapat di kalangan ulama. Imam Abu Hanifah, Imam Ahmad dan yang
menyepakatinya memandang pertambahan atau pertumbuhan barang gadai yang terjadi
setelah barang gadai ditangan Murtahin, maka ikut kepada barang gadai tersebut.
Sedangkan Imam Syafi’i dan Ibnu Hazm
dan yang menyepakatinya memandang, pertambahan atau pertumbuhan bukan ikut barang
gadai, tetapi menjadi milik orang yang menggadaikannya. Hanya saja Ibnu Hazm
berbeda dengan Syafi’i menyangkut barang gadai yang berupa kendaraan dan hewan
menyusui. Ibnu Hazm berpendapat, dalam kendaraan dan hewan yang menyusui,
(pertambahan dan pertumbuhannya) milik yang menafkahinya.
e. Perpindahan Kepemilikan Dan Pelunasan Hutang Dengan Barang Gadai
Barang gadai tidak berpindah
kepemilikannya kepada Murtahin apabila telah selesai masa perjanjiannya,
kecuali dengan izin orang yang menggadaikannya (Rahin), dan rahin tidak mampu
melunasinya.
G. Khiyar dalam Jual beli
Dalam jual beli, menurut agama Islam
dibolehkan memilih, apakah akan meneruskan jual beli atau tidak, karena
terjadinya suatu hal, khiar dibagi menjadi tiga macam sebagai berikut:
1.
Khiyar
Majelis artinya antara penjual dan pembeli diperbolehkan memilih akan
melanjutkan jual beli atau akan membatalkannya. Selama mereka masih dalam suatu
tempat (majelis), khiar jual beli boleh dilakukan dalam jual beli.
Rasulullah Saw bersabda: “Pembeli
dan penjual boleh melakukan jual beli selama tidak terpisah
2.
Khiyar
Syarat yaitu penjualan yang didalamnya diisyaratkan sesuatu baik oleh penjual
dan pembeli seperti seseorang berkata, “saya jual rumah ini dengan harga Rp.
100.000.000,00 dengan syarat khiyar - selama tiga hari”.
Rasulullah Saw bersabda: “Kamu boleh
Khiyar pada setiap benda yang telah dibeli selama tiga hari tiga malam”.
(Riwayat Baihaqi).
3.
Khiyar’aib
artinya dalam jual beli ini diisyaratkan kesempurnaan benda-benda yang dibeli,
seperti seseorang barkata; “saya beli harga ini dengan harga sekian, bila mobil
ini cacat akan saya kemalikan.
Diriwayatkan oleh Ahmad dan Abu Daud
dari Aisyah r.a bahwa seseorang membeli budak, kemudian budak itu disuruh
dihadapan dengan pembeli, didapatknya sesuatu yang cacat dari budak itu, lalu
diadukan kepada Rasulullah, maka budak itu dikembalikan kepada penjual.[4]
Selain itu, ada empat kategori
khiyar menurut, Prof. Dr. Muhammad Takhir Mansoori, dan tambahan dari kategori
diatas adalah Khiyar al-ghabn (hak untuk membatalkan kontrak karena penipuan).
Khiyar al-ghabn dapat
diimplementasikan dalam situasi seperti berikut:
1. Tasriyah yang bermakna mengikat
kantong susu unta betina atau kambing supaya air susu itu berkumpul dikantong
susunya sehingga memberikan kesan kepada pembeli bahwa air susunya sudah
banyak. Dan ini bisa dibatalkan pembeli apabila dia merasa dirugikan ataupun
ditipu. Ulama mazhab Hanafi tidak menyetujui pembatalan kontrak. Mereka
mengizinkan orang yang ditipu untuk menuntut tambahan yang tidak merugikan
penjual.
2. Tanajus bermakna menawar harga yang tinggi untuk
suatu barang tanpa niat untuk membelinya, untuk tujuan semata-mata menipu orang
lain yang ingin membeli barang tersebut.
3. Ghabn Fahisy adalah kerugian besar
yang diderita oleh suatu pihak dari kontral sebagai hasil dari penggelapan atau
penggambaran yang salah atau penipuan yang dilakukan oleh pihak lain. Ulama
Hanafi berpendapat bahwa kerugian besar yang diderita oleh suatu pihak, bukan
merupakan penyebab untuk membatalkan kontrak.
4. Talaqqi al-rukban merupakan
transaksi dimana orang kota mengambil keuntungan dari ketidaktahuan orang Badui
yang memawa barang primer dan kebutuhan pokok untuk dijual dan menipunya dalam
perjalanan ketempat penjual.[5]
b). Gadai
Khiyar dalam pengadaian tidak ada
karena khiyar untuk memilih barang yang hendak dibeli antara pembeli dengan
penjual yang sesuai dengan barang yang dipilih pembeli dan yang harga yang ditetapkan penjual, sedangkan
dalam gadai tidak ada transaksi untuk ambli ahli dari pemilik kepada pegadai,
jika itu terjadi maka hukum gadainya bersifat riba.
H. Persyaratan dalam Jual Beli dan Gadai.
a). Jual Beli.
Berbeda dengan syarat dan
persyaratan jual beli. Syarat sah jual beli ditentukan oleh agama, sedangkan
persyaratan ditentukan oleh salah satu pihak pelaku. Bila syarat sah itu
dilanggar maka jual beli (akad) itu tidak sah, sedangkan jika persyaratan itu
tidak dipenuhi maka akad itu sah tetapi pelaku itu membatalkan atau melakukan
(khiyar). Persyaratan ada dua macam yaitu:
1.
Persyaratan
yang dibenarkan agama, misalnya: persyaratan yang sesuai dengan tuntutan akad,
persyaratan tausiqiyah (penjual mengisyaratkan pembeli memberikan jaminan),
persyaratan washfiyah (mengisyaratkan kriteria dan barang tertentu),
persyaratan manfaat, persyaratan taqyidiyyah (pihak yang mengisyaratkan hal
yang bertentangan dengan kewenangan kepemilikan), persyaratanakad fi akad
(menggabungkan dua akad dalam satu akad), persyaratan jaza’i (persyartan
denda), dan persyaratan takliqiyyah (berdasarkan yang ada dua pemilik yang menyetujui maka akad sah),
2.
Persyaratan
yang dilarang agama.misalnya persyaratan yang menggabungkan akad qardh dengan
ba’i (mengganti utang dengan syarat digantikan oleh barang yang harganya beda
jauh), dan persyaratan yang betentangan
dengan tujuan akad (barang yang dijual tidak berpindah tangan kepada pembeli).[6]
b). Gadai.
1.
Persyaratan
gadai subyektif: persyaratan yang sesuai dengan perjanjian gadai dan harus
memenuhi syarat cukup melakukan tukar menukar barang.
2.
Syarat
barang gadai (Marhun): bahwa barang yang sudah dijadikan jaminan sudah wujud
pada waktu perjanjian terjadi. Sehingga memungkinkan barang itu untuk
diserahkan seketika itu pada murtahin dan juga barang itu mempunyai nilai.[7]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Berdasarkan isi dari makalah jual beli dan gadai itu
sering dilakukan dalam kalangan masyarakat, tetapi cara dan rukunnya berbeda
sesuai dengan Islam ataupun Hukum semata. Terkadang dalam kehidupan
bermasyarakat tanpa disadarinya merujung pada riba maupun yang tidak sesuai
dengan hukum Islam maupun pedoman Islam.
Jual beli adalah tukar menukar suatu
barang dengan barang lain dengan cara tertentu (akad), terdapat pada surah
al-Qur’an.
Secara
etimologi gadai bersasal dari bahasa arab yaitu ar-rahn yang berarti tetap,
kekal, dan jaminan. Secara istilah ar-rahn disebut dengan barang jaminan, dalam
Islam yaitu sarana tolong menolong bagi umat Islam tanpa ada imbalan jasa.
B. SARAN
Demikianlah yang dapat saya sampaikan, tentunya
banyak kekurangan dan kelemahan karena terbatasnya pengetahuan. Semoga dapat
bermanfaat bagi pembaca apabila ada saran maupun kritik yang ingin disampaikan
pada saya silahkan sampaikan kepada saya. Apabila ada kesalahan saya mohon maaf
dan dimaklumi, karena saya adalah manusia dan hamba Allah yang tidak luput dari
kekurangan maupun kesalahan.
DAFTAR PUSTAKA
Mardani,
2012. fiqih Ekonomi Syariah.Jakarta:
Prenada Media Group.
Az-zuhaili Wahbah.2011, Fiqih Islam Wa
Adillatuhu, Jakarta: Gema Insani.
Suhendi Hendi, Fiqih Muamalah,1997.Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
ash Shiddieqy
Teungku Muhammad Hasbi,2001, Pengantar Fiqih
Muamalah. Semarang: PT
Pustaka Rizki Putra.
Dkk, Ghazaly
Abdul Rahman, Fiqih Muamalat, 2010. Jakarta: Prenada Media Group.
Wahid
Muhammad bin Achmad Al Faqih Abul, 2007, Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid, Jakarta Pusat: Pustaka Amani.
Apriyani Yustina – UIN Sunan Gunung Djati Bandung, http://sepnazyik.wordpress.com/makalah-pendidikan/hukum-gadai/, diunduh pada, 23 Desember 2011.
[1] Dkk, Ghazaly Abdul Rahman,
Fiqih Muamalat, (Jakarta: Prenada Media Group, 2010), hlm. 67-89.
[2] Al
Faqih Abul Wahid Muhammad bin Achmad ,Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul
Muqtashid, (Jakarta Pusat: Pustaka
Amani, 2007), hlm 700.
[5] Wahbah Az-zuhaili, Fiqih
Islam Wa Adillatuhu, (Jakarta: Gema Insani, 2011), hlm 200
[6] Mardani, fiqih Ekonomi Syariah. (Jakarta:
Prenada Media Group, 2012). hlm 101- 110
[7] Yustina
Apriani – UIN Sunan
Gunung Djati Bandung, http://sepnazyik.wordpress.com/makalah-pendidikan/hukum-gadai/,
diunduh pada, 23 Desember 2011
Komentar
Posting Komentar