Ihya al-Mawat
Bab 1
Pendahuluan
A.
Latar Belakang
Ihya’ al-mawat adalah membuka lahan tanah mati dan belum pernah ditanami
sehingga tanah tersebut dapat memberikan manfaat untuk tempat tinggal, bercocok
tanam dan sebagainya.
Islam menyukai manusia berkembang dengan membangun berbagai
perumahan dan menyebar di berbagai pelosok dunia, menghidupkan (membuka)
tanah-tanah tandus. Hal itu dapat menambah kekayaan dan memenuhi kebutuhan
hidup, sehingga tercapailah kemakmuran dan kekuatan mereka.
Bertolak dari hal tersebut, Islam menganjurkan pada
penganutnya untuk menggarap tanah yang gersang agar menjadi subur, sehingga
menghasilkan kebaikan dan keberkahan dengan mengelola tanah tersebut.
B.
Rumusan Masalah
1. Apakah pengertian ihya’ al-mawat?
2. Apa dasar hukum ihya’ al-mawat?
3. Bagaimana cara-cara ihya’
al-mawat?
4. Apa-apa saja objek yang berkaitan
dengan ihya’ al-mawat?
5. Bagaimana hukum-hukum dalam ihya’
al-mawat?
6. Bagaimana syarat-syarat ihya’
al-mawat?
C.
Tujuan Penulisan
Memahami pengertian, dasar hukum, cara-cara, objek yang berkaitan dengan ihya’
al-mawat, mengetahui hukum-hukum yang ada dalam ihya’ al-mawat dan
apa-apa saja syarat ihya’ al-mawat, mengetahui bagaimana izin penguasa
dalam ihya’ al-mawat, dan bagaimana ihya’ al-mawat dalam
memecahkan masalah pertanian khususnya yang berkaitan dengan lahan.
Bab II
Pembahasan
A.
Ihya’ Al-Mawat
1. Pengertian
Ihya’al-Mawat
Ihya’Al-Ma’wat
atau menghidupkan tanah yang telah mati di maksudkan dengan menggarap tanah
yang telah mati. Di
kalangan fuqoha, tanah yang telah mati dimeksud dengan “Tanah yang tidak ada
tuanya dan tidak lagi di manfaatkan oleh siapapun.” Di sini di maksudkan untuk
mengambil manfaat atas pemanfaatan tanah tersebut.
“Tidak
ada pemiliknya” maksudnya adalah tanah yang tidak ada pemiliknya sama sekai,
dan tidak ada bekas garapan seperti ,pondasi, tanaman ,dan lain sebagainya.
“Tanah
yang tidak di manfaatkan oleh seseorang “ maksudnya tanah tersebut bebas, tidak
ada seorangpun yang menguasai tanah tersebut untuk dimanfaatkan atau
bermanfaat. Bukan juga tanah milik umum seperti bantaran sungai, teras-teras
rumah karena membawa kemaslahatan bersama.
Menurut Syekh Shihab al-Din Qalyubi wa Umairoh dalam kitabnya Qalyubi wa
Umairoh bahwa yang dimaksud dengan ihya al-mawat adalah:
عمارة الارض التي لم تعمر
“Menyuburkan tanah yang tidak subur”
Yang dimaksud dengan tanah baru ialah tanah yangbelum peranah dikerajakan
oleh siapapun: berarti tanah yang belum dipunyai orang atau tidak diketahui
pemiliknya. Sabda Rasulullah s.a.w.: Dari jabir bersabda rasulullah s.a.w.:
“Barang siapa membuka tanah yang baru, maka tanah itu menjadi miliknya”.
Riwayat Tirmidzi dan disahkanya.
Menurut
Abu Hanifah, tanah mawat ialah tanah yang berjauhan dari sesuatu kawasan yang
telah diusahakan dan tiada kedapatan air. Menurut Mazhab Maliki, tanah mawat
ialah tanah yang bebas daripada pemilikan tertentu melalui usaha seseorang dan
tidak ada tanda-tanda sebagai ia telah diusahakan. Menurut al-Mawardi dari
Mazhab Syafi’i, tanah mawat ialah tanah yang belum diusahakan. Menurut Imam
Ahmad binHanbal, tanah mawat ialah tanah yang diketahui tidak dimiliki oleh
siapapun dan tidak kedapatan tanda-tanda tanah itu telah diusahakan.
2. Hukum
Ihya’ Al-Mawat
Dalam
hadits Rasululloh Saw. Bersabda . “ Barang siapa menggarap tanah bukan milik
siapapun, maka dialah yang berhak atas tanah itu dan apa yang dimakan oleh hewan
baginya adalah sedekah. Hadits
di atas menjelaskan bahwa hukum ihya’ Al-Mawat adalah boleh. Riwayat tersebut
secara tegas menyatakan bahwa kepemilikan bisa di tetapkan dengan menghidupkanya
karena dia berhak memilki tanah tersebut tanpa perlu berhujjah bahwa tanah itu
masuk kedalam haknya. Mesikpun
hukum menggarap tanah mati itu di perbolehkan, akan tetapi tetap ada beberapa
hal yang di kecualikan
a. Tanah
tak bertuan di Arafah, Mudzalifah dan Mina
b. Karena
tana-tanah tersebut adalah hak para jamaah haji dan umroh , dan ketika di
gunakan/di garap akan mengganggu ibadah jama’ah.
c. Tanah-tanah
di tempat umum, dan fasilitas umum.
d. Tanah
atau kawasan hutan lindung , tidak boleh di garap karena sudah di tetapkan oleh
pemerintah sebagai milik umum, dan tidak dimilki/ di garap kecuali dengan izin
pemimpin/wakilnya.
e. Kawasan
terlarang untuk di kelola, yaitu tanah yang perlu di manfaatkan meskipun
sebenarnya sudah ada manfaatnya namun tanpa usaha pemanfaatan tidak akan
maksimal.
f. Lahan
ini di sebut harim (kawasan terlarang), pemilik berhak melarang orang untuk
mengelolanya, dengan mendirikan rumah dsb, tapi tidak boleh melarang orang
lewat, mencari rumput , menimba air, dll.
Kawasan
terlarang perkampungan
1. Gedung
pertemuan
2. Tempat
pacuan kuda
3. Tempat
penambatan hewan peliharaan/parkir mobil.
4. Tempat
pembuangan sampah
5. Tempat
penggilingan biji-bijian
6. Tempat
menggembala kambing, dan hewan ternak lain
Kawasan
sumur untuk menimba air
Yakni
sumur yang digali dan mengeluarkan air, kawasan haramnya adalah sebagai
berikut:
1. Tempat
istirahat/pemberhentian menimba air
2. Alat
timba
3. Bak
penampungan air
Kawasan
terlarang Sungai Memanfaatkan
kawasan terlarang sunagai ada 2 pendapat
a. Bila
pemanfaatanya seperti menenempatkan barang barang , pipa di kedua sisi sungai,
bila tidak di maksudkan untuk memersemit jalan raya dan mengurangi hak /
kemaslahatan umum, maka diperbolehkan.
b. Pemanfaatan
yang muncul dari sungai akibat pasang surut air sungai, hal itu di larang sebab
itu merupakan kawasan yang di larang.
c. Cara-Cara
Ihya Al-Mawat Cara menggarap
tanah mati berbeda-beda. Perbedaan cara-cara ini dipengaruhi oleh adat dan
kebiasaan masyarakat.
Cara-cara
ihya al-mawat adalah:
a. Menyuburkan
- cara ini digunakan untuk daerah yang gersang, yakni daerah yang tanaman tidak
dapat tumbuh, maka tanah tersebut diberi pupuk, baik pupuk dari pabrik maupun
pupuk kandang sehingga tanah itu mendapat hasil yang diinginkan.
b. Menanam
– cara ini dilakukan untuk daerah-daerah yang subur, tetapi belum dijamah oleh
tangan-tangan manusia. Sebagai tanda tanah itu telah ada yang memiliki, maka ia
ditanami dengan tanam-tanaman, baik tanaman untuk makanan pokok, mungkin juga
ditanami pohon-pohon tertentu secara khusus, seperti pohon jati, karet, kelapa,
dan pohon-pohon lainnya.
c. Menggarisi
atau membuat pagar – hal ini dilakukan untuk tanah kosong yang luas sehingga
tidak mungkin untuk dikuasai seluruhnya oleh orang yang menyuburkannya, maka
dia harus membuat pagar atau garis batas tanah yang akan dikuasai olehnya.
d. Menggali
parit – yaitu membuat parit di sekeliling kebun yang dikuasainya, dengan maksud
supaya orang lain mengetahui bahwa tanah tersebut sudah ada yang menguasai
sehingga menutup jalan bagi orang lain untuk menguasainya.
3. Harim Makmur
1.
Harim makmur artinya sesuatu yang
dilarang dikuasai oleh seseorang. Harim itu ada beberapa macam yaitu sebagai
berikut:
2. Harim kampung
yaitu lapangan atau alun-alun tempat rekreasi, pacuan kuda, pasar, tanah lapang
dll
3.
Harim telaga yaitu tempat (tanah yang
dibuka) disuburkan digali untuk kubangan ternak, seperti tempat penambatanya,
tempat pancuranya ditempat pembuangan air.
4.
Harim rumah yaitu tempat pembuangan
sampah dan yang lain-lainya.
Ada beberapa tanah yang tidak boleh digarap:
Pertama, tanah tak bertuan di Arafah,
Muzdalifah, dan Mina.
Kedua, tanah yang merupakan fasilitas umum.
Ketiga, tanah atau kawasan lindung.
Keempa,t kawasan terlarang untuk dikelolah.
4.
Milik bersama tanah yang kosong
Tanah kosong yang belum ditanami atau diurus oleh
seseorang ada tiga macam yang menjadi milik bersama yaitu:
1.Air
2.Rumput
3.Benda-benda
yang dapat dibakar
Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan
oleh imam abu dawud dan ibnu majah dariAbu Hurairoh ra. dari Nabi Saw.
bersabda: “orang islam bersyarikat pada 3 macam yaitu air, padang rumput dan
api”
Menurut sebagian ulama haram hukumnya melarang orang lain
menggunakan benda-benda tersebut.
5. Pembagian Tanah
Membagi-bagikan tanah dibolehkan
menurut ajaran agama islam asal saja tanah itu belum menjadi milik seseorang
atau suatu lembaga. Menurut Qadhi Iyadh yang dimaksud dengan membagi-bagikan
tanah adalah pemberian pemerintah dari harta Allah kepada orang-orang yang
pantas untuk itu dengan cara-cara sebagai berikut:
a.
Sebagian tanah dikeluarkan dan
diberikan kepada orang yang mampu memanfaatkanya dan menjaganya. Tanah itu
merupakan hak miliknya supaya dikelola demi mencukupi kebutuhanya.
b.
Hak guna usaha yaitu tanah tersebut
diberikan kepada orang-orang
c.
tertentu yang layak danmampu
memfungsikanya hasil untuk pengelola tetapi tanahtersebut bukan atau tidak
menjadi hak milik.
6. Temuan dalam Tanah Baru
Seseorang yang memiliki sesuatu dibolehkan untuk
memanfaatkanya sesuai dengan kehendaknya dengan syarat tidak mengganggu orang
lain. Batas-batas tanah harus ditandai dengan jelas seperti denganpohon, beton,
dinding dan tanda-tanda yang lainya
Dijelaskan oleh idris ahmad bahwa
pengarang kitab al-minhaj berpendapat siapa saja yang menghidupkan tanah mati,
kemudian lahir pada tanah tersebut benda-benda yang tersembunyi maka
benda-benda tersebut menjadi miliknya sedangkan air yang terpancar dan rumput
yang tumbuh adalah milik bersama.
7.
MACAM-MACAM HARIM
Harim ma’mur artinya
sesuatu yang dilarang dikuasai oleh seseorang atau apa-apa yang dihajati untuk
penyempurnaan manfaat yang diambil (didapat) pada tanah yang diusahakan. Harim
itu ada bermacam-macam, yaitu sebagai berikut:
a.
Harim kampung, ialah lapangan atau
alun-alun tempat rekreasi, pacuan kuda,
pasar, tanah lapang, tempat pemandian, tempat keramaian, dan lain-lain.
b.
Harim perigi (telaga), yang digali di
tanah yang mati (yang baru diusahakan) ialah tempat kubangan ternak, termasuk
tanah yang di sekitarnya, seperti tempat penambatannya atau
tempat pancuran air mengalir (comberan), timba, dan lain-lain.
c.
Harim rumah, ialah tempat pembuangan
sampah dan lain-lainnya.
Adapun perigi yang baru digali, harimnya ialah 25 hasta sekelilingnya. Kalau perigi sudah lama ada (sebelum) Islam, harimnya ialah 50 hasta sekitarnya.[1]
Adapun perigi yang baru digali, harimnya ialah 25 hasta sekelilingnya. Kalau perigi sudah lama ada (sebelum) Islam, harimnya ialah 50 hasta sekitarnya.[1]
8.
IZIN PENGUASA DALAM IHYA AL-MAWAT
Mayoritas
ulama berpendapat bahwa membuka lahan kosong menjadi sebab pemilikan tanah
tanpa wajib diwajibkan izin dari pemerintah. Orang yang membuka lahan (tanah)
baru otomatis menjadi miliknya tanpa perlu meminta izin lagi kepada pemerintah.
Dan penguasa (pemerintah) berkewajiban memberikan haknya apabila terjadi
persengketaan mengenai hal tersebut.Imam Abu Hanifah berpendapat, pembukaan
tanah merupakan sebab pemilikan (tanah), akan tetapi disyaratkan juga mendapatkan
izin dari penguasa dalam bentuk ketetapan sesuai aturan (akta agrarian).
Sedangkan Imam Malik membedakan antara tanah yang berdekatan dengan area
perkampungan dan tanah yang jauh darinya. Apabila tanah tersebut berdekatan,
maka diharuskan mendapat izin penguasa. Namun, apabila jauh dari perkampungan
maka tidak disyaratkan izin penguasa. Tanah tersebut otomatis menjai milik
orang yang pertama membukanya.
9.
Syarat-syarat Ihya’ Al-Mawat
Para ulama fiqh sepakat menyatakan bahwa syarat-syarat ihya’ al-mawat mencakup
tiga hal, yaitu orang yang menggarap, lahan yang akan digarap, dan
proses penggarapan.
a. Syarat yang terkait dengan orang
yang menggarap
Menurut Ulama’ Syafi’iyah, haruslah
seorang Muslim, karena kaum dzimmi tidak berhak menggarap lahan umat islam
sekalipun diizinkan oleh pihak penguasa, jika kaum dzimmi atau orang kafir
menggarap lahan orang Islam itu berarti penguasaan terhadap hak milik orang
Islam, sedangkan kaum dzimmi atau orang kafir tidak boleh menguasai orang
Islam, oleh sebab itu, jika orang kafir menggarap lahan kosong, lalu datang
seorang muslim merampasnya, maka orang muslim boleh menggarap lahan itu dan
menjadi miliknya. Ulama’ Syafi’iyah berpendapat bahwa orang kafir tidak boleh
memiliki lahan yang ada di negara Islam.
Menurut Ulama’ Hanafiyah, Malikiyah,
dan Hanabilah menyatakan bahwa orang yang akan menggarap lahan itu tidak
disyaratkan seorang muslim. Mereka menyatakan tidak ada bedanya antara orang
muslim dan non-muslim dalam menggarap sebidang lahan yang kosong. Kemudian
mereka (jumhur ulama) juga menyatakan bahwa ihya’ al-mawat merupakan
salah satu pemilikan lahan, oleh sebab itu tidak perlu dibedakan antara muslim
dan non-muslim.
b. Syarat yang terkait dengan lahan
yang akan digarap
Menurut Ulama’ Syafi’iyah lahan itu harus berada di wilayah islam, akan tetapi
jumhur ulama’ berpendapat bahwa tidak ada bedanya antara lahan yang ada di
negara islam maupun bukan, bukan lahan yang dimilki seseorang, baik
muslim maupun dzimmi, bukan lahan yang dijadikan sarana penunjang bagi suatu
perkampungan, seperti lapangan olah raga dan lapangan untuk mengembala ternak
warga perkampungan, baik lahan itu dekat maupun jauh dari perkampungan.[2]
c. Syarat yang terkait dengan
penggarapan lahan
Menurut Imam Abu Hanifah, harus
mendapat izin dari pemrintah, apabila pemerintah tidak mengizinkannya, maka
seseorang tidak boleh langsung menggarap lahan itu, menurut ulama Malikiyah,
jika lahan itu dekat dengan pemukiman, maka menggarapnya harus mandapat izin
dari pemerintah, dan jika lahan itu jauh dari pemukiman tidak perlu izin dari
pemerintah, menurut ulama Syafi’iyah, Hanabilah, Abu Yusuf, Muhammad bin
Al-Hasan Asy-Syaibani keduanya pakar fiqh Hanafi, menyatakan bahwa seluruh
lahan yang menjadi objek ihya’ al-mawat jika digarap oleh seseorang
tidak perlu mendapt izin dari pemerintah, karena harta seperti itu adalah
harta yang boleh dimilki setiap orang, dan hadis-hadis Rasulullah SAW,
tidak ada yang mengatakan perlu izin dari pihak pemerintah, akan tetapi, mereka
sangat tetap menganjurkan mendapatkan izin dari pemerintah, untuk menghindari
sengketa dikemudian hari.
B. Ja’alah
1. Pengertian
Ja’alah
Ja’alah
,Ja’l atau ja’ilah merupakan istilah
nama yang digunakan untuk menyebutkan sesuatu yang di gunakan untuk memberikan
kepada orang lain sebagai upah karena mengerjakan sesuatu. Sebagian ulama mendefinisikan Ja’alah
sebagai “ Kewajiban membayar upah tertentu atas pekerjaan berat walupun
bayaranya belum pasti.” Madzhab
Maliki mendefinisikan Ju’alah sebagai “Suatu upah yang dijanjikan sebagai
imbalan atas suatu jasa yang belum pasti dapat dilaksanakan oleh seseorang”. Madzhab Syafi’i mendefinisikannya:
“Seseorang yang menjanjikan suatu upah kepada orang yang mampu memberikan jasa
tertentu kepadanya”. Secara sederhana
ji’alah dapat di artikan sebagai upah atas jasa atau sayembara.[3]
2. Status
Hukum Ju’alah
Penyeru-penyeru
itu berkata, "Kami kehilangan piala raja, dan siapa yang dapat
mengembalikannya akan memperoleh bahan makanan (seberat) beban unta, dan aku
menjamin terhadapnya. Ayat
tersebut menjelaskan kepada kita bahwa Allah menjanjikan balasan balasan bahan
makanan beban unta bagi ia yang membayar upah kepada seorang yang bekerja
padanya. Sehingga kita dapat mengetahui
bahwa hukum ju’alah adalah Boleh.
Selain
dalam dalil Al-qur’an , NabiAllah Muhammad SAW juga bersabda yang di riwayatkan dalam Abu Sa’id Al-Khuduri
bahwa sekelompok sahabat nabi Saw. bertamu di sebuah kampung ,di perkampungan
arab, namun mereka tidak mau menjamu mereka. Tiba-tiba ketua kampung mereka di
sengat kalajengking , mereka berkata:”Apakah ada di antara kalian yang mau mengobati?” mereka menjawab :” kalian
tidak mau menjamu kami, maka kami tidak akan mengobatinya atau kalian
memberikan ja’alah “ lalu penduduk kampung memberi mereka satu ekor kambing,
lalu salah satunya mengobatinya dengan ummul kitab, lalu mengambil ludahnya
lalu ia sembuh, para sahabatpun berkata :” kami tidak akan mengambilnya sebelum
kami bertanya kepada nabi Muhammad Saw., “ nabi tertawa dan berkata: “ Siapa
yang mengajarkan kamu bahwa ayat itu adalah Do’a ? Ambilah dan Beri saya satu
bagian.
Sedangkan
menurut para Ulama telah berjima’ tentang kebolehan Ja’alah karena memang di
perlukan untuk mengembalikan hewan yang hilang atau pekerjaan yang tidak
sanggup di kerjakanya, dan tidak ada orang yang bisa membantu secara sukarela,
dan tidak boleh dengan akad sewa karena tidak di ketahui sehingga yang boleh
adalah memberinya Ja’alah seperti akad sewa dan bagi hasil.
3. Rukun
Ja’alah
Empat
Ruku Ja’alah : 2 pihak yang berakad, ‘Wadh(Upah), pekerjaan, ucapan.Sebagian
ulama ada yang berpendapat rukun ja’alah ada lima : pihak yang menerima upah,
pihak yang memberi upah , upah, pekerjaan, dan ucapan.[4]
a) Pemberi
Ja’alah
syarat pemberi ja’alah
1. Memiliki
kebebasan berbuat dengan syarat semua tindakanya sah dengan apa yang di
laukanyasebagai upah , baik dia sebagai pemilik atau bukan, termasuk di
dalamnya wali, dan tidak termasuk di dalamya anak kecil , orang gila dan idiot
2. Mempunyai
pilihan , jika terpaksa , maka akad menjadi tidak sah.
b) Pekerja
Syarat
pekerja:
1. Mempunyai
ijin dari orang yang memilki harta
2. Pekerja
adalah orang yang ahli dalam hal yang akan di kerjakanya
3. Pekerja
tidak sah mendapat upah kecuali telah selesai pekerjaanya. Lain hal apabila
sudah ada akad lebih dahulu tentang pemberian upah di awal.
c) Upah
Syarat
upah: Harta
yang menjadi maksud untuk dimilki , terhormat , atau hak khusus dan Harus diketahui sebelumnya oleh si
pekerja. Tapi
apabila upah belum pasti tapi pekerja tetap bekerja , maka ia mendapatkan upah
standar kerja.
d) Pekerjaan: Syarat Pekerjaan
1. Memiliki
kesusahan , maksudnya adalah adanya upaya yang tidak mudah untuk melakukan
pekerjaan itu
2. Pekerjaan
yang di tawarkan kepadanya bukan suatu pekerjaan yang wajib secara syar’i.
e) Ucapan
(Sighat): Ucapan
di laukan oleh yang memilki ja’alah saja, atau yang menerima ja’alah (pekerja)
atau kedua-duanya.
Misalnya
hanya Sang pemilik Ja’alah “barang siapa menemukan kudaku yang hilang, maka
akan aku beri orang itu balasan sebesar 20 juta “Hanya penerima ja’alah “
apabila saya menemukan kudamau , maka berikan saya 20 juta. Sighat (ucapan tidak boleh terikat waktu
karena akan menghilangkan tujuan dari akad , “ barang siapa menemukan kudaku
sampai bulan deember maka akaan aku beri
dia 20 juta “ Akad tersebut tidak sah. Karena sang penerima ja’alah mungkin
belum menemukan kuda yang di cari , sedangkan sudah masuk tengganag waktu ,
maka dia tidak akan mendapat apa-apa dan usahanya sia-sia.
4. Membatalkan ji’alah
1. Masing-masing
pihak boleh menghentikan perjajanjian (membatalkannya) sebelum bekerja.
2. Kalau
yang membatalkan orang yang bekerja, dia tidak mendapat upah, sekalipun dia
sudah bekerja.
3.
Tetapi kalau yang membatalkannya adalah
pihak yang menjajinkan upah, maka yang bekerja berhak menuntut upah sebanyak
pekerjaan yang diasudah kerjakan.[5]
Bab III
Penutup
A. Kesimpulan
Ihya’
Al-Mawat adalah menggarap tanah yang telah mati , dimana tanah itu tidak
dimiliki oleh siapapun dan tidak ada bekas garapannya.Hukum Ihya’ Al-Mawat i
perbolehkan. Cara menghidupkan/ menggarap tanah mati adlah dengan menyuburkan,
menanami, memberi pagar dan lain sebagainya.
Sedangkan
ju’alah adalah upah. Pemberian sesuatu kepada seseorang atas
pekerjaan/perbuatan yang telah di berikan kepadanya yang belum tentu bisa di
laksanakan. Hukumnya adalah boleh sesuai Q.S Yusuf ayat 7.
Daftar
Pustaka
Pengantar
Fiqh Muamalah, Teungku Muhmamad Hasbi Ash-Sidiqi,2009, PT. Pustaka Rizki Putra,
Yogyakarta
Fiqih
Praktis, 1998, Wamy Publishing
Suhendi, Hendi.
2010. Fiqih Muamalah. PT. Grafindo Persada. Jakarta.
Rasjid, Sulaiman.
1954. Fiqh Islam. Athahiriyah. Jakarta.
Asrori, Ma’ruf.
2000. Ringkasan Fiqh Islam. Almiftah. Surabaya.
[5]
Teungku Muhmamad Hasbi Ash-Sidiqi, Pengantar Fiqh Muamalah,
(Yogyakarta:PT. Pustaka Rizki Putra. 2009). Hlm. 67
Komentar
Posting Komentar