Ihya al-Mawat



Bab 1
Pendahuluan

A. Latar Belakang
            Ihya’ al-mawat adalah membuka lahan tanah mati dan belum pernah ditanami sehingga tanah tersebut dapat memberikan manfaat untuk tempat tinggal, bercocok tanam dan sebagainya.
Islam menyukai manusia berkembang dengan membangun berbagai perumahan dan menyebar di berbagai pelosok dunia, menghidupkan (membuka) tanah-tanah tandus. Hal itu dapat menambah kekayaan dan memenuhi kebutuhan hidup, sehingga tercapailah kemakmuran dan kekuatan mereka.
Bertolak dari hal tersebut, Islam menganjurkan pada penganutnya untuk menggarap tanah yang gersang agar menjadi subur, sehingga menghasilkan kebaikan dan keberkahan dengan mengelola tanah tersebut.


B. Rumusan Masalah
1.      Apakah pengertian ihya’ al-mawat?
2.      Apa dasar hukum ihya’ al-mawat?
3.      Bagaimana cara-cara ihya’ al-mawat?
4.      Apa-apa saja objek yang berkaitan dengan ihya’ al-mawat?
5.      Bagaimana hukum-hukum dalam ihya’ al-mawat?
6.      Bagaimana syarat-syarat ihya’ al-mawat?

C. Tujuan Penulisan
            Memahami pengertian, dasar hukum, cara-cara, objek yang berkaitan dengan ihya’ al-mawat, mengetahui hukum-hukum yang ada dalam ihya’ al-mawat dan apa-apa saja syarat ihya’ al-mawat, mengetahui bagaimana izin penguasa dalam ihya’ al-mawat, dan bagaimana ihya’ al-mawat dalam memecahkan masalah pertanian khususnya yang berkaitan dengan lahan.



Bab II
Pembahasan
A. Ihya’ Al-Mawat
1.      Pengertian Ihya’al-Mawat
Ihya’Al-Ma’wat atau menghidupkan tanah yang telah mati di maksudkan dengan menggarap tanah yang telah mati. Di kalangan fuqoha, tanah yang telah mati dimeksud dengan “Tanah yang tidak ada tuanya dan tidak lagi di manfaatkan oleh siapapun.” Di sini di maksudkan untuk mengambil manfaat atas pemanfaatan tanah tersebut.
“Tidak ada pemiliknya” maksudnya adalah tanah yang tidak ada pemiliknya sama sekai, dan tidak ada bekas garapan seperti ,pondasi, tanaman ,dan lain sebagainya.
“Tanah yang tidak di manfaatkan oleh seseorang “ maksudnya tanah tersebut bebas, tidak ada seorangpun yang menguasai tanah tersebut untuk dimanfaatkan atau bermanfaat. Bukan juga tanah milik umum seperti bantaran sungai, teras-teras rumah karena membawa kemaslahatan bersama.
Menurut Syekh Shihab al-Din Qalyubi wa Umairoh dalam kitabnya Qalyubi wa Umairoh bahwa yang dimaksud dengan ihya al-mawat adalah:
عمارة الارض التي لم تعمر
“Menyuburkan tanah yang tidak subur”
Yang dimaksud dengan tanah baru ialah tanah yangbelum peranah dikerajakan oleh siapapun: berarti tanah yang belum dipunyai orang atau tidak diketahui pemiliknya. Sabda Rasulullah s.a.w.: Dari jabir bersabda rasulullah s.a.w.: “Barang siapa membuka tanah yang baru, maka tanah itu menjadi miliknya”. Riwayat Tirmidzi dan disahkanya.
Menurut Abu Hanifah, tanah mawat ialah tanah yang berjauhan dari sesuatu kawasan yang telah diusahakan dan tiada kedapatan air. Menurut Mazhab Maliki, tanah mawat ialah tanah yang bebas daripada pemilikan tertentu melalui usaha seseorang dan tidak ada tanda-tanda sebagai ia telah diusahakan. Menurut al-Mawardi dari Mazhab Syafi’i, tanah mawat ialah tanah yang belum diusahakan. Menurut Imam Ahmad binHanbal, tanah mawat ialah tanah yang diketahui tidak dimiliki oleh siapapun dan tidak kedapatan tanda-tanda tanah itu telah diusahakan.
2.      Hukum Ihya’ Al-Mawat
Dalam hadits Rasululloh Saw. Bersabda . “ Barang siapa menggarap tanah bukan milik siapapun, maka dialah yang berhak atas tanah itu dan apa yang dimakan oleh hewan baginya adalah sedekah. Hadits di atas menjelaskan bahwa hukum ihya’ Al-Mawat adalah boleh. Riwayat tersebut secara tegas menyatakan bahwa kepemilikan bisa di tetapkan dengan menghidupkanya karena dia berhak memilki tanah tersebut tanpa perlu berhujjah bahwa tanah itu masuk kedalam haknya. Mesikpun hukum menggarap tanah mati itu di perbolehkan, akan tetapi tetap ada beberapa hal yang di kecualikan
a.       Tanah tak bertuan di Arafah, Mudzalifah dan Mina
b.      Karena tana-tanah tersebut adalah hak para jamaah haji dan umroh , dan ketika di gunakan/di garap akan mengganggu ibadah jama’ah.
c.       Tanah-tanah di tempat umum, dan fasilitas umum.
d.      Tanah atau kawasan hutan lindung , tidak boleh di garap karena sudah di tetapkan oleh pemerintah sebagai milik umum, dan tidak dimilki/ di garap kecuali dengan izin pemimpin/wakilnya.
e.       Kawasan terlarang untuk di kelola, yaitu tanah yang perlu di manfaatkan meskipun sebenarnya sudah ada manfaatnya namun tanpa usaha pemanfaatan tidak akan maksimal.
f.       Lahan ini di sebut harim (kawasan terlarang), pemilik berhak melarang orang untuk mengelolanya, dengan mendirikan rumah dsb, tapi tidak boleh melarang orang lewat, mencari rumput , menimba air, dll.
Kawasan terlarang perkampungan
1.      Gedung pertemuan
2.      Tempat pacuan kuda
3.      Tempat penambatan hewan peliharaan/parkir mobil.
4.      Tempat pembuangan sampah
5.      Tempat penggilingan biji-bijian
6.      Tempat menggembala kambing, dan hewan ternak lain
Kawasan sumur untuk menimba air
Yakni sumur yang digali dan mengeluarkan air, kawasan haramnya adalah sebagai berikut:
1.      Tempat istirahat/pemberhentian menimba air
2.      Alat timba
3.      Bak penampungan air
Kawasan terlarang Sungai Memanfaatkan kawasan terlarang sunagai ada 2 pendapat
a.       Bila pemanfaatanya seperti menenempatkan barang barang , pipa di kedua sisi sungai, bila tidak di maksudkan untuk memersemit jalan raya dan mengurangi hak / kemaslahatan umum, maka diperbolehkan.
b.      Pemanfaatan yang muncul dari sungai akibat pasang surut air sungai, hal itu di larang sebab itu merupakan kawasan yang di larang.
c.       Cara-Cara Ihya Al-Mawat Cara menggarap tanah mati berbeda-beda. Perbedaan cara-cara ini dipengaruhi oleh adat dan kebiasaan masyarakat.
Cara-cara ihya al-mawat adalah:
a.       Menyuburkan - cara ini digunakan untuk daerah yang gersang, yakni daerah yang tanaman tidak dapat tumbuh, maka tanah tersebut diberi pupuk, baik pupuk dari pabrik maupun pupuk kandang sehingga tanah itu mendapat hasil yang diinginkan.
b.      Menanam – cara ini dilakukan untuk daerah-daerah yang subur, tetapi belum dijamah oleh tangan-tangan manusia. Sebagai tanda tanah itu telah ada yang memiliki, maka ia ditanami dengan tanam-tanaman, baik tanaman untuk makanan pokok, mungkin juga ditanami pohon-pohon tertentu secara khusus, seperti pohon jati, karet, kelapa, dan pohon-pohon lainnya.
c.       Menggarisi atau membuat pagar – hal ini dilakukan untuk tanah kosong yang luas sehingga tidak mungkin untuk dikuasai seluruhnya oleh orang yang menyuburkannya, maka dia harus membuat pagar atau garis batas tanah yang akan dikuasai olehnya.
d.      Menggali parit – yaitu membuat parit di sekeliling kebun yang dikuasainya, dengan maksud supaya orang lain mengetahui bahwa tanah tersebut sudah ada yang menguasai sehingga menutup jalan bagi orang lain untuk menguasainya.
3.      Harim Makmur
1.      Harim makmur artinya sesuatu yang dilarang dikuasai oleh seseorang. Harim itu ada beberapa macam yaitu sebagai berikut:
2.      Harim kampung yaitu lapangan atau alun-alun tempat rekreasi, pacuan kuda, pasar, tanah lapang dll
3.      Harim telaga yaitu tempat (tanah yang dibuka) disuburkan digali untuk kubangan ternak, seperti tempat penambatanya, tempat pancuranya ditempat pembuangan air.
4.      Harim rumah yaitu tempat pembuangan sampah dan yang lain-lainya.

Ada beberapa tanah yang tidak boleh digarap:
Pertama, tanah tak bertuan di Arafah, Muzdalifah, dan Mina.
Kedua, tanah yang merupakan fasilitas umum.
Ketiga, tanah atau kawasan lindung.
Keempa,t kawasan terlarang untuk dikelolah.
                                                                
4.      Milik bersama tanah yang kosong
Tanah kosong yang belum ditanami atau diurus oleh seseorang ada tiga macam yang menjadi milik bersama yaitu:
1.Air
2.Rumput
3.Benda-benda yang dapat dibakar
Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh imam abu dawud dan ibnu majah dariAbu Hurairoh ra. dari Nabi Saw. bersabda: “orang islam bersyarikat pada 3 macam yaitu air, padang rumput dan api”
Menurut sebagian ulama haram hukumnya melarang orang lain menggunakan benda-benda tersebut.
5.      Pembagian Tanah
Membagi-bagikan tanah dibolehkan menurut ajaran agama islam asal saja tanah itu belum menjadi milik seseorang atau suatu lembaga. Menurut Qadhi Iyadh yang dimaksud dengan membagi-bagikan tanah adalah pemberian pemerintah dari harta Allah kepada orang-orang yang pantas untuk itu dengan cara-cara sebagai berikut:
a.       Sebagian tanah dikeluarkan dan diberikan kepada orang yang mampu memanfaatkanya dan menjaganya. Tanah itu merupakan hak miliknya supaya dikelola demi mencukupi kebutuhanya.
b.      Hak guna usaha yaitu tanah tersebut diberikan kepada orang-orang
c.        tertentu yang layak danmampu memfungsikanya hasil untuk pengelola tetapi tanahtersebut bukan atau tidak menjadi hak milik.

6.      Temuan dalam Tanah Baru
Seseorang yang memiliki sesuatu dibolehkan untuk memanfaatkanya sesuai dengan kehendaknya dengan syarat tidak mengganggu orang lain. Batas-batas tanah harus ditandai dengan jelas seperti denganpohon, beton, dinding dan tanda-tanda yang lainya
Dijelaskan oleh idris ahmad bahwa pengarang kitab al-minhaj berpendapat siapa saja yang menghidupkan tanah mati, kemudian lahir pada tanah tersebut benda-benda yang tersembunyi maka benda-benda tersebut menjadi miliknya sedangkan air yang terpancar dan rumput yang tumbuh adalah milik bersama.
7.      MACAM-MACAM HARIM
Harim ma’mur artinya sesuatu yang dilarang dikuasai oleh seseorang atau apa-apa yang dihajati untuk penyempurnaan manfaat yang diambil (didapat) pada tanah yang diusahakan. Harim itu ada bermacam-macam, yaitu sebagai berikut:
a.       Harim kampung, ialah lapangan atau alun-alun tempat  rekreasi, pacuan kuda, pasar, tanah lapang, tempat pemandian, tempat keramaian, dan lain-lain.
b.      Harim perigi (telaga), yang digali di tanah yang mati (yang baru diusahakan) ialah tempat kubangan ternak, termasuk tanah yang di sekitarnya, seperti tempat  penambatannya atau tempat pancuran air mengalir (comberan), timba, dan lain-lain.
c.       Harim rumah, ialah tempat pembuangan sampah dan lain-lainnya.
Adapun perigi yang baru digali, harimnya ialah 25 hasta sekelilingnya. Kalau perigi sudah lama ada (sebelum) Islam, harimnya ialah 50 hasta sekitarnya.[1]
8.      IZIN PENGUASA DALAM IHYA AL-MAWAT
Mayoritas ulama berpendapat bahwa membuka lahan kosong menjadi sebab pemilikan tanah tanpa wajib diwajibkan izin dari pemerintah. Orang yang membuka lahan (tanah) baru otomatis menjadi miliknya tanpa perlu meminta izin lagi kepada pemerintah. Dan penguasa (pemerintah) berkewajiban memberikan haknya apabila terjadi persengketaan mengenai hal tersebut.Imam Abu Hanifah berpendapat, pembukaan tanah merupakan sebab pemilikan (tanah), akan tetapi disyaratkan juga mendapatkan izin dari penguasa dalam bentuk ketetapan sesuai aturan (akta agrarian). Sedangkan Imam Malik membedakan antara tanah yang berdekatan dengan area perkampungan dan tanah yang jauh darinya. Apabila tanah tersebut berdekatan, maka diharuskan mendapat izin penguasa. Namun, apabila jauh dari perkampungan maka tidak disyaratkan izin penguasa. Tanah tersebut otomatis menjai milik orang yang pertama membukanya.
9.      Syarat-syarat Ihya’ Al-Mawat
            Para ulama fiqh sepakat menyatakan bahwa syarat-syarat ihya’ al-mawat mencakup tiga hal, yaitu orang yang menggarap, lahan yang akan digarap, dan proses penggarapan.
a.    Syarat yang terkait dengan orang yang menggarap
Menurut Ulama’ Syafi’iyah, haruslah seorang Muslim, karena kaum dzimmi tidak berhak menggarap lahan umat islam sekalipun diizinkan oleh pihak penguasa, jika kaum dzimmi atau orang kafir menggarap lahan orang Islam itu berarti penguasaan terhadap hak milik orang Islam, sedangkan kaum dzimmi atau orang kafir tidak boleh menguasai orang Islam, oleh sebab itu, jika orang kafir menggarap lahan kosong, lalu datang seorang muslim merampasnya, maka orang muslim boleh menggarap lahan itu dan menjadi miliknya. Ulama’ Syafi’iyah berpendapat bahwa orang kafir tidak boleh memiliki lahan yang ada di negara Islam.
Menurut Ulama’ Hanafiyah, Malikiyah, dan Hanabilah menyatakan bahwa orang yang akan menggarap lahan itu tidak disyaratkan seorang muslim. Mereka menyatakan tidak ada bedanya antara orang muslim dan non-muslim dalam menggarap sebidang lahan yang kosong. Kemudian mereka (jumhur ulama) juga menyatakan bahwa ihya’ al-mawat merupakan salah satu pemilikan lahan, oleh sebab itu tidak perlu dibedakan antara muslim dan non-muslim.
b.    Syarat yang terkait dengan lahan yang akan digarap
            Menurut Ulama’ Syafi’iyah lahan itu harus berada di wilayah islam, akan tetapi jumhur ulama’ berpendapat bahwa tidak ada bedanya antara lahan yang ada di negara islam maupun bukan,  bukan lahan yang dimilki seseorang, baik muslim maupun dzimmi, bukan lahan yang dijadikan sarana penunjang bagi suatu perkampungan, seperti lapangan olah raga dan lapangan untuk mengembala ternak warga perkampungan, baik lahan itu dekat maupun jauh dari perkampungan.[2]
c.    Syarat yang terkait dengan penggarapan lahan   
Menurut Imam Abu Hanifah, harus mendapat izin dari pemrintah, apabila pemerintah tidak mengizinkannya, maka seseorang tidak boleh langsung menggarap lahan itu, menurut ulama Malikiyah, jika lahan itu dekat dengan pemukiman, maka menggarapnya harus mandapat izin dari pemerintah, dan jika lahan itu jauh dari pemukiman tidak perlu izin dari pemerintah, menurut ulama Syafi’iyah, Hanabilah, Abu Yusuf, Muhammad bin Al-Hasan Asy-Syaibani keduanya pakar fiqh Hanafi, menyatakan bahwa seluruh lahan yang menjadi objek ihya’ al-mawat jika digarap oleh seseorang tidak perlu mendapt izin dari pemerintah, karena harta seperti itu adalah harta  yang boleh dimilki setiap orang, dan hadis-hadis Rasulullah SAW, tidak ada yang mengatakan perlu izin dari pihak pemerintah, akan tetapi, mereka sangat tetap menganjurkan mendapatkan izin dari pemerintah, untuk menghindari sengketa dikemudian hari.

B.     Ja’alah
1.      Pengertian Ja’alah
Ja’alah ,Ja’l atau ja’ilah  merupakan istilah nama yang digunakan untuk menyebutkan sesuatu yang di gunakan untuk memberikan kepada orang lain sebagai upah karena mengerjakan sesuatu. Sebagian ulama mendefinisikan Ja’alah sebagai “ Kewajiban membayar upah tertentu atas pekerjaan berat walupun bayaranya belum pasti.” Madzhab Maliki mendefinisikan Ju’alah sebagai “Suatu upah yang dijanjikan sebagai imbalan atas suatu jasa yang belum pasti dapat dilaksanakan oleh seseorang”. Madzhab Syafi’i mendefinisikannya: “Seseorang yang menjanjikan suatu upah kepada orang yang mampu memberikan jasa tertentu kepadanya”.  Secara sederhana ji’alah dapat di artikan sebagai upah atas jasa atau sayembara.[3]
2.      Status Hukum Ju’alah
Penyeru-penyeru itu berkata, "Kami kehilangan piala raja, dan siapa yang dapat mengembalikannya akan memperoleh bahan makanan (seberat) beban unta, dan aku menjamin terhadapnya. Ayat tersebut menjelaskan kepada kita bahwa Allah menjanjikan balasan balasan bahan makanan beban unta bagi ia yang membayar upah kepada seorang yang bekerja padanya.  Sehingga kita dapat mengetahui bahwa hukum ju’alah adalah Boleh.
Selain dalam dalil Al-qur’an , NabiAllah Muhammad SAW juga bersabda  yang di riwayatkan dalam Abu Sa’id Al-Khuduri bahwa sekelompok sahabat nabi Saw. bertamu di sebuah kampung ,di perkampungan arab, namun mereka tidak mau menjamu mereka. Tiba-tiba ketua kampung mereka di sengat kalajengking , mereka berkata:”Apakah ada di antara kalian yang  mau mengobati?” mereka menjawab :” kalian tidak mau menjamu kami, maka kami tidak akan mengobatinya atau kalian memberikan ja’alah “ lalu penduduk kampung memberi mereka satu ekor kambing, lalu salah satunya mengobatinya dengan ummul kitab, lalu mengambil ludahnya lalu ia sembuh, para sahabatpun berkata :” kami tidak akan mengambilnya sebelum kami bertanya kepada nabi Muhammad Saw., “ nabi tertawa dan berkata: “ Siapa yang mengajarkan kamu bahwa ayat itu adalah Do’a ? Ambilah dan Beri saya satu bagian.
Sedangkan menurut para Ulama telah berjima’ tentang kebolehan Ja’alah karena memang di perlukan untuk mengembalikan hewan yang hilang atau pekerjaan yang tidak sanggup di kerjakanya, dan tidak ada orang yang bisa membantu secara sukarela, dan tidak boleh dengan akad sewa karena tidak di ketahui sehingga yang boleh adalah memberinya Ja’alah seperti akad sewa dan bagi hasil.
3.      Rukun Ja’alah
Empat Ruku Ja’alah : 2 pihak yang berakad, ‘Wadh(Upah), pekerjaan, ucapan.Sebagian ulama ada yang berpendapat rukun ja’alah ada lima : pihak yang menerima upah, pihak yang memberi upah , upah, pekerjaan, dan ucapan.[4]
a)      Pemberi Ja’alah
 syarat pemberi ja’alah
1.      Memiliki kebebasan berbuat dengan syarat semua tindakanya sah dengan apa yang di laukanyasebagai upah , baik dia sebagai pemilik atau bukan, termasuk di dalamnya wali, dan tidak termasuk di dalamya anak kecil , orang gila dan idiot
2.      Mempunyai pilihan , jika terpaksa , maka akad menjadi tidak sah.
b)      Pekerja
Syarat pekerja:
1.      Mempunyai ijin dari orang yang memilki harta
2.      Pekerja adalah orang yang ahli dalam hal yang akan di kerjakanya
3.      Pekerja tidak sah mendapat upah kecuali telah selesai pekerjaanya. Lain hal apabila sudah ada akad lebih dahulu tentang pemberian upah di awal.
c)      Upah
Syarat upah: Harta yang menjadi maksud untuk dimilki , terhormat , atau hak khusus dan Harus diketahui sebelumnya oleh si pekerja. Tapi apabila upah belum pasti tapi pekerja tetap bekerja , maka ia mendapatkan upah standar kerja.
d)     Pekerjaan: Syarat Pekerjaan
1.      Memiliki kesusahan , maksudnya adalah adanya upaya yang tidak mudah untuk melakukan pekerjaan itu
2.      Pekerjaan yang di tawarkan kepadanya bukan suatu pekerjaan yang wajib secara syar’i.
e)      Ucapan (Sighat): Ucapan di laukan oleh yang memilki ja’alah saja, atau yang menerima ja’alah (pekerja) atau kedua-duanya.
Misalnya hanya Sang pemilik Ja’alah “barang siapa menemukan kudaku yang hilang, maka akan aku beri orang itu balasan sebesar 20 juta “Hanya penerima ja’alah “ apabila saya menemukan kudamau , maka berikan saya 20 juta. Sighat (ucapan tidak boleh terikat waktu karena akan menghilangkan tujuan dari akad , “ barang siapa menemukan kudaku sampai bulan deember  maka akaan aku beri dia 20 juta “ Akad tersebut tidak sah. Karena sang penerima ja’alah mungkin belum menemukan kuda yang di cari , sedangkan sudah masuk tengganag waktu , maka dia tidak akan mendapat apa-apa dan usahanya sia-sia.
4. Membatalkan ji’alah
1.    Masing-masing pihak boleh menghentikan perjajanjian (membatalkannya) sebelum bekerja.
2.    Kalau yang membatalkan orang yang bekerja, dia tidak mendapat upah, sekalipun dia sudah bekerja.
3.    Tetapi kalau yang membatalkannya adalah pihak yang menjajinkan upah, maka yang bekerja berhak menuntut upah sebanyak pekerjaan yang diasudah kerjakan.[5]

Bab III
Penutup
A.    Kesimpulan
Ihya’ Al-Mawat adalah menggarap tanah yang telah mati , dimana tanah itu tidak dimiliki oleh siapapun dan tidak ada bekas garapannya.Hukum Ihya’ Al-Mawat i perbolehkan. Cara menghidupkan/ menggarap tanah mati adlah dengan menyuburkan, menanami, memberi pagar dan lain sebagainya.
Sedangkan ju’alah adalah upah. Pemberian sesuatu kepada seseorang atas pekerjaan/perbuatan yang telah di berikan kepadanya yang belum tentu bisa di laksanakan. Hukumnya adalah boleh sesuai Q.S Yusuf ayat 7.

 

Daftar Pustaka

Pengantar Fiqh Muamalah, Teungku Muhmamad Hasbi Ash-Sidiqi,2009, PT. Pustaka Rizki Putra, Yogyakarta
Fiqih Praktis, 1998, Wamy Publishing
Suhendi, Hendi. 2010. Fiqih Muamalah. PT. Grafindo Persada. Jakarta.
Rasjid, Sulaiman. 1954. Fiqh Islam. Athahiriyah. Jakarta.
Asrori, Ma’ruf. 2000. Ringkasan Fiqh Islam. Almiftah. Surabaya.





[1] Asrori, Ma’ruf. Ringkasan Fiqh Islam.  (Surabaya: Almiftah, 2000), hlm 87
[2] Rasjid, Sulaiman. Fiqh Islam.(Jakarta: Athahiriyah, 1954), hlm 56

[3] Suhendi, Hendi. Fiqih Muamalah. (Jakarta: PT. Grafindo Persada. 2010), hlm 100

[4] Wamy Publishing. Fiqih Praktis,(jakarta: grafindo, 1998). Hlm.99
.

[5] Teungku Muhmamad Hasbi Ash-Sidiqi, Pengantar Fiqh Muamalah, (Yogyakarta:PT. Pustaka Rizki Putra. 2009). Hlm. 67

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Proses Perencanaan.

syirkah, ijarah, dan ariyah